Pertemuan dengan Takdir
Lima
tahun yang lalu kedua telingaku kulubangi menggunakan bor, ada anting sebesar
lingkaran jari tengah yang kugantungkan. Ia membuatku merasa lebih percaya
diri, dan meyakinkanku bahwa diriku anak yang hidup dengan kebebasan.
Akulah pencipta kebebasan hidupku, tak ada yang mengatur, dan tak ada yang menjadi batasan.
Sementara orang-orang selalu berkata bahwa, ‘Alur kehidupan sudah ada
pengaturnya, tangan manusia tak akan bisa mengubahnya begitu saja jika Ia tak
berkehendak,’ dan aku baru membenarkannya setelah dua puluh enam tahun hidup
dalam kebebasan semu.
![]() |
pixabay.com |
Anganku sedang terbang ke langit
delapan. Aku melambung pada puncak kebebasan dunia ciptaan tanganku sendiri.
Asap berembus, hidung menghirup singkatnya aroma kebahagiaan. Meskipun singkat,
namun aku tetap merasakan perjalanan hidup panjang, tak berliku, tak terjal,
juga tak bergelombang. Hal itu membuatku tertawa renyah, walaupun orang-orang
berteriak, sementara jalanan beriak-riak dengan air mata. Aku tak merasa terganggu ketika mobil dan
kendaraan beroda dua kalang kabut mencari persembunyian, aku damai di tempatku
berpijak. Mereka justru lelucon yang
membuatku ingin tertawa lagi dan lagi.
Pintu kamarku terketuk berkali-kali, sayangnya aku berbohong
tak mendengarkannya, telingaku yang masih normal kuanggap tuli dengan segala
bentuk panggilan dan suara, dari mana pun, bahkan dari siapa pun, termasuk Ibuku.
Kepalaku pening, tubuhku serasa
mengambang, almari dan dipan berjalan-jalan, kaca berderit, sebelum akhirnya
retak, kemudian pecah.
Di luar sana, rumah-rumah,, gedung-gedung tinggi,
pertokoan, perkantoran, bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, memperjuangkan
suatu keadaan seimbang, agar tiang tak goyah dan atap tidak roboh, sayangnya pondasi–pondasi
bergelut dengan guncangan dasyat. Pintu tidak terdobrak, namun ia ambruk begitu
saja, disusul tubuh Ayah dan Ibu. Dinding kamarku retak, perlahan terbelah,
udara yang penuh debu masuk dengan lancang, suara gemuruh, jalanan kini
dipenuhi dengan reruntuhan. Rumahku masih terselamatkan, meski doyong 60
derajat.
Aku masih tertawa.
Ibu menangis, Ayah panik dan menyeretku bersembunyi di bawah
kolong meja. Meja makan menjadi perlindungan tiga kepala. Aku tak mengerti
mengapa mimik wajah Ibu tampak sangat menyedihkan.
Bumi bergoyang, kali ini dengan
tekanan yang lebih besar. Atap rumahku roboh, material mengenai permukaan meja
kami, beruntung meja hanya retak, tidak patah, kepala kami selamat. Ayah dan
Ibu menarik tubuhku yang limbung, tubuhku reflek menyeimbangkan langkah mereka
yang lari terbirit-birit menghindari jatuhnya material gedung dan jalanan yang
retak. Mobil-mobil terparkir sembarang, bus-bus besar oleng, mereka yang masih
sempat mengendarai motor, menancap gas sekencang mungkin, tak peduli pada
akhirnya menabrak pohon, atau tertimbun longsoran gedung pencakar langit.
Jembatan Kuning di
Palu roboh, jalanan terbelah, kaca-kaca gedung yang dulu merekam sunset juga sunrise dari dalam ruang, hancur berkeping, luruh begitu saja, tak
mempedulikan ada puluhan bahkan ratusan orang berlari di bawahnya, obyek
tersebut seenaknya saja hinggap di kepala, di leher, di kaki, bahkan mengenai
mata orang. Mereka terluka, mereka menangis, mereka mengaduh pada Tuhan, mereka
meminta pertolongan, bercampur permohonan ampun. Seorang bayi terkapar di
jalanan yang retak. Bocah-bocah tak berdosa menjerit mencari ibunya. Remaja-remaja kalang kabut mencari
pegangan agar tubuhnya tak ambruk, tragis tiang penyangga yang dijadikannya
tumpuan justru roboh mengenai tubuhnya.
Ada kepala-kepala yang ditinggalkan anggota tubuhnya
karena terkena reruntuhan, ada yang terkubur di dalam kubangan material, ada
tangan yang lupa siapa pemiliknya, ada kaki yang tergeletak di jalanan,
kemudian perlahan, mayat-mayat berjatuhan mengenaskan.
Dan aku masih tertawa, aku terbang, melupakan
kepedihan-kepedihan yang mereka alami, hidupku tak ada sangkutpautnya dengan
kejadian saat ini.
Wajah Ibuku berubah pucat, Ayah sudah membeku ketakutan,
namun mereka masih memegangi tanganku erat-erat. Di persimpangan jalan yang
retak, kedua orangtuaku kebingungan, tak menemukan pertolongan sedikit pun,
meskipun mereka telah lama melolong. Orang-orang lari tunggang langgang, tak
menghiraukan siapa yang ada di belakang mereka, bahkan bisa jadi istri
tercinta, anak tercinta telah dilupakan.
Kota yang semula megah, yang semula dipenuhi dengan
kehidupan hedonis, yang semula selalu bergemerlap dengan pesta-pesta, yang
semula tertawa dengan kepuasan-kepuasan, kini menangis penuh darah dan
tubuh-tubuh manusia tidak berdaya.
Palu kini tak
bertenaga, sementara aku masih tertawa. Ia kritis dengan guncangan bumi, 7,4 SR,
kemudian koma karena amukan air yang
bergelombang. Bangunan hanyut, orang-orang terseret, beberapa tersangkut di
tiang-tiang yang masih berdiri, beberapa tertusuk besi beton, beberapa
tenggelam.
Alam sedang mengajak bergurau, tapi aku sudah tak bisa
diajak bercanda. Ibuku terseret air yang keruh, sementara aku dan Ayah masih
berpegangan tiang listrik, tubuh kami terombang-ambing di dalam air. Kami
berdua menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terkena benturan material yang
hanyut. Napasku sedikit terganggu karena banyak air tsunami yang aku minum.
Seperkian detik aku melihat kepala Ibu terkena reruntuhan kaca.
Darah bercampur dengan air, ia melambaikan tangan namun
tidak berpamitan, perlahan tubuhnya tenggelam, kemudian aku tersadar dari sihir
nikotinku. Ayah megap-megap, ia melambaikan tangan ke permukaan, tiang listrik
terhanyut, kami pun ikut hanyut. Orang-orang yang bersembunyi di lantai gedung
tertinggi jika beruntung masih selamat, jika sial, maka tertimbun reruntuhan
gedung itu sendiri. Untuk pertamakalinya setelah berpuluh-puluh tahun hidup aku
merasakan pahitnya ditinggal seseorang.
‘Ibu, maafkan aku.’ Bahkan ia tak mendengar kata maaf dariku.
Ayah menatapku lekat-lekat, ia
seolah memberi isyarat agar aku mampu menyelamatkan diri, setelah itu tangannya
terlepas, tubuhnya berbenturan dengan mobil lamborgnini yang hanyut, di
dalamnya terperangkap dua orang yang telah meninggal, kini aku sendirian dengan
batang tiang listrik yang terombang ambing di permukaan air. Aku berusaha keras
menepi, aku naik ke bangunan yang masih berdiri, meskipun hanya tersisa
puing-puing yang lemah. Berharap gurauan alam ini usai.
Tanpa
kusadari, air mataku meleleh. Ada sesal dan kepedihan yang menyatu dan
bersembunyi di dadaku lekat-lekat. Kakiku terasa perih, entah kapan ia terluka,
darah mengalir segar. Pakaian yang kukenakan telah compang camping, pelipisku
robek, dan entah kapan pula ia robek, lenganku mati rasa, juga aku tak tahu apa
penyebabnya.
Gempa dan tsunami terjadi ketika aku nge-flay. Aku tidak tahu, seberapa lama bencana ini terjadi, aku
juga tak menghitung menit kematian orang-orang yang telah menjadi bangkai di
bawah sana.
Sesadarku, aku merasa ngeri dan ketakutan. Tubuhku
terseok. Kota yang dahulu dipenuhi dengan hotel dan mall-mall mewah, kini lebu
binasah. Ratusan manusia dan hewan-hewan rumahan terkapar tanpa nyawa. Dan
semua itu belum selesai.
Bumi bergerak, ada lumpur yang keluar dari dalam tanah,
ia menyeret bangunan yang tersisa. Orang-orang yang selamat dan baru saja
mengambil napas kembali dihantam penderitaan, mereka yang tak berdaya langsung
pasrah dengan alur maut, sementara yang masih mempunyai tenaga berlari
sekencang mungkin, melompati apa saja, berpegangan apa saja, menginjak apa saja
termasuk kepala manusia, yang penting dirinya selamat, tak termakan lumpur,
tidak terkubur sia-sia, tidak menyisakan kenangan tragis sebelum ajal menjemput.
Dengan mata
kepalaku sendiri, aku melihat lumpur-lumpur itu menelan apa saya yang ada di
permukaan, kemudian bumi bergeser. Gedung-gedung yang semula dihanyutkan
gelombang ombak, kini terseret oleh lumpur-lumpur. Tower listrik bahkan seperti
baru saja memiliki kaki untuk berpindah tempat.
Aku pasrah, gedungku ikut bergerak, menabrak apa saja,
menelindas apa saja, termasuk jika ada bayi tak berdosa. Tubuhku terpental
membentur tembok yang runtuh, menampar serpihan kaca, menghantam batu, menabrak
badan mobil, kemudian berakhir tragis tenggelam di dalam lumpur, aku mungkin
tak akan tertolong. Lumpur itu seperti memiliki nyawa dan hasrat lapar yang
dasyat. Dadaku sesak, aku tak bisa bernapas. Sesegera mungkin aku akan menyusul
kedua orangtuaku.
***
“Siapa namamu?” tanya seorang
suster.
“Lintang.” Jawabku dengan suara
lirih dan seperti seorang yang merintih.
‘Kenapa aku hidup?’
aku terkapar di sebuah rumah sakit penampungan korban gempa bumi.
Seorang petugas memberitahuku, bahwa aku selamat dari
timbunan lumpur karena tersangkut pada tiang bangunan yang roboh. Namun, entah
mengapa aku tidak merasa senang, aku justru pedih mengapa tidak dicabut
nyawanya saja oleh Tuhan. Aku muak dengan timsar yang berhasil menemukan
tubuhku. Seharusnya mereka tidak perlu tahu diriku, atau jika tahu tak perlu
menolongku, aku terlalu putus asa dengan kehidupanku.
Palu, Donggala, Sigi dan
sekitarnya luluh lantah, seirama dengan tubuhku yang lemah. Aku tak tahu harus
berbuat apalagi. Diskotik tempatku bernaung diri waktu-waktu lampau lebur tanp
sisa, jika pun ada itu hanya kenangan yang terbesit di kepala orang-orang yang
masih hidup.
Aku tak lagi memiliki kawan. Ayah ibu beserta
saudara-saudaraku yang lain telah meninggalkanku lebih awal. Seharusnya aku
yang mati, sebab aku yang ditimbun banyak dosa. Mengapa Ibu dan Ayahku yang
lebih dulu pergi? Mendadak membenarkan bahwasannya sebuah kehidupan sudah ada yang
mengatur! Hanya Tuhan yang berhak menentukan kehidupan dan kematian seluruh
makhluk yang ada di alam semesta.
Di atas perkotaan retak ini, aku mengajukan sebuah
pertemuan berharga dengan takdir untuk yang pertama kalinya. Aku sedikit segan
dengan kesempatan, kalau saja aku boleh menggugat, aku tak ingin hidup hari
ini. Bukan perpisahan yang harusnya
engkau tangisi, namun pertemuanlah yang seharunya kau sesali, kata-kata
mutiara klasik itu kugaris bawahi. Jika saja aku tidak dilahirkan dari rahim Ibu
dan Ibu tidak dipertemukan dengan Ayah, pastilah semua ini tak akan terjadi,
aku akan damai di alam yang entah, sementara kedua orangtuaku tidak akan
berakhir tragis di depan mataku.
Aku menyesal karena pernah tinggal di rahim ibuku. Namun
semua itu telah menjadi takdir hidupku yang perlu aku syukuri. Mulai sekarang,
aku tak akan pergi ke tempat gelap lagi, tak akan menyesap narkoba lagi,
fokusku adalah berkenalan dengan takdir dan menjalani kesempatan hidup ini agar
menjadi lebih baik.
Titin Widyawati
Magelang, 9 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar