Surat

 

Ini bukan tentang maut. Ini tentang seutas senyum yang akan diabadikan oleh sepanjang hayat. Bahkan pemiliknya sanggup bertemu lagi di tahta surga. Begitu kata pemuka agama di kampung.

              Berita itu hanyut dalam arus yang lembut. Mengetuk pintu ringkihku. Tetangga yang kuanggap Tukang Pos mengulurkan surat indah berwarna merah jambu. Menyadari hal itu, j­­­­­­­­­­­antungku bak disambar petir. Aku tersenyum, namun masa depanku tergambar getir. Berdoa, semoga aku sedang berhalusinasi melihat hantu pembawa sebuah surat yang tak... baik, sebenarnya tak pantas, jika aku tidak mengharapkan surat tersebut. Sedikit ragu aku mengungkapkannya.  Namun, jujur, selembar kertas itu akan membuat leherku serasa tercekik. Malamku menggigil sendirian di pembaringan. Tentu kelanjutan kisah aku akan melamun tanpa kawan di toko biru.  Mengenaskan!

pixabay.com


Jemariku bergetar hebat. Tubuhku limbung. Aku terduduk layu di kursi tamu. Hening. Siang baru saja ditelan mendung. Angin berembus kencang membuat pintu yang tak kututup berderit-derit. Pandanganku buyar, aku belum sanggup membuka lembaran kertas yang dilipat menjadi tiga secara vertikal. Aku meletakkannya di atas meja. Kanvas tua menjaganya. Pandanganku teralih pada ekspresi kaku ibuku di bingkai foto. Aku menarik senyum kecut. Saat aku menderita, mengapa kau tak ada di sisiku? Berontakku pada waktu.

              Bibir merah dicap lipstik darah. Kantung mata tebal yang kendor. Wajah berseri, namun senyumnya tak terurai. Letih terpotret oleh mata sayunya memandang  udara. Debu-debu hinggap di permukaan kertas. Tintanya mulai pudar.  Aku sempurna memandang wajah Ibu. Sekilas kulirik surat yang tergeletak pasrah di atas meja, bertikar taplak lusuh. Mengenaskan. Padahal sebelumnya aku sangat yakin, surat itu diletakkan pada tempat yang nyaman dan istimewa, berhubung isinya akan dikenang sampai ajal mendekat.  

Surat yang ada di atas meja itu adalah surat serupa yang Ibu sebarkan belasan tahun mundur. Aku berpikir bahwa yang terjadi hari ini adalah hukum alam! Sudahlah biarkan saja otakku berpikir sinting!

Redup! Petir menjelegar. Lampu padam. Hujan turun mengamuk genting-genting warga. Aku terdiam membeku di ruang tamu. Pintu masih menganga lebar. Bukankah surat itu adalah pengusir orang? Meskipun ia mendatangkan orang, Bu? Petir menyambar. Ribuan hujan bergerilya mengamuk senja. Aku beranjak menutup pintu. Melangkah tertatih-tatih ke dalam kamar. Tubuh kurebahkan, lantas membungkus separuh dengan selimut tebal.

              “Aku akan kehilangan seseorang, seseorang yang berarti bagi tawa dan susahku setiap hari. Kelak aku akan kesepian,” gumamku menggigit bibir bawahku. Jam dinding berdenyut lambat. Waktu seolah malas bergulir. Hujan terdengar bergemuruh. Dingin menghajar fisikku yang sedang tak bersahabat. Lima hari aku tersungkur dalam pembaringan. Demam naik turun. Jika malam tinggi, jika siang seperti tak terjadi apa-apa. Batuk hingga dada sesak. Nafsu makan lenyap. Semua makanan terasa hambar. Dehidrasi hingga bibirku retak dan kulitku kering. Pening menyiksa kepala. Hendak tidur, namun mata sukar terpejam. Lapar, lidah tak mau merasa, tenggorokan juga enggan menelan, jika kupaksa lambung bersiap memuntahkannya. Pasrah! Entah jantung berdetak cepat atau lambat. Yang jelas, hari ini aku masih merasakan paru-paruku menghirup oksigen.

              Aku ingin mengeluh, memanggil nama pemilik surat. Sayang, mendadak bibirku kelu. Aku sedang tidak terlintas di benaknya. Ada sosok lain yang hinggap di benaknya. Dulu, aku urusan pertama, tempat bersadar, tumpahan curhatan, hiburan saat kebahagiaannya tumbang, penyemangat asanya yang datang, juga pengusir gundah saat senja merangkak. Semua itu, tersimpan dalam genangan airmata hari ini, aku sendirian. Menyebut namanya pun aku tak berani.

Milyaran detik waktu kuhabiskan dengan membagi tawa kepadanya, menatap masa depan berdua, membagi kekonyolan jalanan bersama, makanan satu piring dibagi rata, minum gelas berganti-gantian jijik tidak dirasa. Masih di tepian senja kami saling menunggu, jalan beriringan di bawah langit yang sama. Bergurau, atau membicarakan kecongkakan orang beruang. Kau ingat kenangan manis itu, Kawan? Bukankah sebelumnya aku pernah menceritakannya kepadamu?

              Jangan tersentak jika kisah ini sedikit menggigit nuranimu. Jangan berontak jika aku hendak mengusir kenangan manis yang romantis di bawah gerimis. Dulu, kami menatap hujan di bangku tua, duduk bersisihan, mengemil jajanan. Kami lebih sering menatap kendaraan yang berlalulalang. Kepala kami pun tergerak ke kanan dan ke kiri. Lucu bukan? Sering yang terurai adalah tema tentang anak jalanan, entah pengemis, berandalan, pengamen, tukang kuli gendong pasar, dan yang lainnya. Ah, aku sepakat dengan takdir, saat ini ia melupakan diriku. Lihatlah surat yang tergeletak di atas meja. Aku adalah orang yang paling setia di sisinya, tak pernah berniat memalingkan hati dari kehidupannya. Nyawaku sudah terpagut mesra pada denyut nadinya. Saat aku sakit, ia dulu yang menjagaku. Jika perut kami kelaparan, cacing berontak di dalam pencernaan, mana dulu yang punya uang, membelikan, lantas terlahab bersamaan. Jika sedang susah, entah masalah pribadi atau keluarga, kami beradu nasib, saling menasehati. Jika ada yang kekurangan perekonomiannya di akhir bulan, maka ia atau aku saling menutupi. Romantis bukan? Sekarang, ada nyawa yang akan membentenginya. Lima hari aku terkapar, lebih lima hari ia tak memberiku kabar. Aku kesepian, menelan pahit di bawah langit malam yang membuatku menggigil. Dan tentang surat itu...........

              Rasanya, dunia menelanku hidup. Maut mencari ribut. Dadaku terbakar. Isakku menjelegar. Aku sakit. Perutku mual. Kepalaku seakan terlembar. Leherku kaku ditegakkan. Panas dingin. Hendak bangkit kembali tersungkur. Pandanganku kabur. Aku membutuhkannya! Sekarang jua! Lagi-lagi, mana aku tega membayangkan kebahagiannya kurampas dengan duka? Surat itu! Surat kebahagiaan yang seharusnya aku mendukungnya. Ia akan hidup lebih damai dengan seorang pendamping yang lain dariku. Aku dalam ingatannya adalah sosok riang yang pandai berkelakar, bukan orang yang pantas diajak memperjuangkan kehidupan di masa yang akan datang. Takdir sampai kapan pun tak akan pernah merestui! Bukan sebab aku tak berharta!  Harta kami serupa! Indah mempesona saat selarik senyum terpetik di balik mega. Juga bukan sebab parasku yang biasa-biasa saja. Kami laksana cermin yang memantulkan cahaya. Khayalan jika kau berpikir orangtua kami yang tidak menghendaki, bukan! Itu juga bukan! Mereka justru amat sangat akrab.

              Lantas surat itu? Surat yang menumbuhkan lara di dada. Kembali aku menelan getir. ‘Aku sudah menganggapnya sebagian dari hidupku! Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan aku di sisinya, tak pernah perasaan bosan mekar. Kertas berwarna merah muda indah itu merampas kisah masa laluku di bawah atap Tuhan. Aku menggigil. Napasku sesak. Airmata meluncur deras. Tanpa membuka surat itu aku sudah mengetahui isinya. Jemariku menggapi selimut, mencari ponsel yang tak kugagagas dari kemarin. Pelan, meski jemariku menggigil lancar aku mengetik pesan.

              “Selamat atas kebahagiaanmu. Aku harap kau menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan anak-anakmu kelak. Jangan pernah melupakan kenangan indah yang pernah kita rangkai, Eti! Andaikan aku diciptakan menjadi separuh tulang rusukmu, maka aku pasti yang akan melamarmu, Et! Selamat menempuh kehidupan baru, Kawan! Aku mengenangmu dalam keabadian di bawah langit yang berbintang.”

Kami lahir dengan jenis yang sama. Aku kelu sebab akan kehilangan waktu penuhnya. Jelas, kau mampu membayangkannya bukan? Kelak ia akan merajakan suaminya.

              “Ah, Rara. Terimakasih, ditunggu kehadirannya!”

              ‘Emm.. mungkin aku tidak bisa datang, aku sedang kena gejala typus!’ Pesan terakhir tak tega kukirim. Aku menghapusnya. Ponsel kumatikan. Mata kupejamkan. Aku tidak ingin memberinya kabar yang tidak menyenangkan. Apa pun yang terjadi, aku mengharapkan kenyamanan hidupnya, meski jujur sedikit berat aku kehilangan dirinya. Pernahkah kau merasakan sakit saat sahabatmu melangkah ke pelaminan? Bukan sedih karena iri, namun berat melepas kenangan yang pernah dirangkai berdua.

 

              Mengenangmu. Eti. 05:00 31/12/2016.

Komentar