Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Antara Hujan, Razia, Aku dan Polisi

Gambar
  Aku mengendarai sepeda motor matic kakakku yang sedari tadi masih melaju dengan kecepatan sedang, sore hari ini kulihat awan mulai menghitam dan sebagian masih putih bersih, aku tersenyum kala memandangi awan putih itu, aku membayangkan jika putihnya awan itu seperti putih dan sucinya diriku, sangat cantik sekali. aku mengalihkan pandangan kearah jalan raya, jalanan tidak lumayan ramai, jadi aku bisa menikmati hawa dingin menggunakan kendaraanku ini, sejuk sekali, aku yang hanya mengenakan jaket tidak terlalu tebal, masih bisa merasakan dingin. Memang tidak membuatku kedinginan, tapi membuatku geli, aku yang tidak terlalu peduli pada hawa dingin, baru kali ini merasakan dinginnya cuaca saat hujan akan datang,  ah aku tak tahu jika situasi ini benar undangan hujan, selama ini aku tak terlalu peduli pada tanda-tanda turunnya hujan, saat turun hujan ya aku bersikap biasa saja, aku menganggap jika hujan itu berkah dari Yang Maha Kuasa saja, dan aku tidak pernah mengumpat jik...

Resensi Cerpen Kunang-kunang dalam Bir

Gambar
Penulis              : Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu Laman web      : https://lakonhidup.com/2010/10/15/kunang-kunang-dalam-bir/ Cerita pendek Kunang-kunang dalam Bir adalah kali pertama saya membaca Agus Noor dan kepiawaiannya merangkai tragedi dengan keintiman dan juga erotisme yang benar-benar seperti tubuh-tubuh dalam kisah Djenar Maesa Ayu yang lain. Dan hal ini begitu nyaman dibaca oleh segenap saya; mata, bibir dan jiwa saya menikmatinya hingga baris terakhir! Kunang-kunang dalam Bir menjadi kisah yang berkesan-bagi saya, dan saya kira hal ini karena Agus Noor mampu mengangkat kerinduan, sebagai mimesis paling purba dalam sejarah manusia, sebagai hal yang begitu lazim dan lekat, menjadi sebuah kisah sederhana – perenungan di sebuah kafe yang sendu. Pixabay.com Bagaimana bisa kerinduan-kerinduan itu, pelarian terhadap bir dan kunang-kunang menjadi berhubungan satu sama lain? Hal ini...

“Sandyakala di Pelupuk Matamu”

Gambar
: untuk Lantip Mestika Pancarani             Di suatu petang di dada kala, di hari baik, bulan baik dan tahun yang baik pula, Tuhan sedang ngopi dan berlatih membaca puisi – dari bibirNya yang teramat molek dan mirip ciuman-ciuman selamat tidur, aksara mengalir -. Membaca puisi itu – yang, kukira, mungkin puisi Sylvia Plath atau Neil Hilborn, lamat-lamat aku mengingat ada nyeri yang berdenyut-denyut dan meleleh dari halamannya -, Ia mengernyitkan alisNya, diletakkanNya kopi dan tubuh puisi itu dengan perlahan, dipetikNya sehelai senja dari tiada, bibirNya merekah setelah mengelupasi nyeri dari kata-kata, berbisik Ia, “kelak manusia akan mampu juga memetik senja dari sesuatu; pipi, tengkuk, bibir, celana, dan kembang plastik yang dipaksa mekar di luar garba musim-musim yang bergegas meniti detik,” senja menguar-nguar aroma tubuhnya, senja berdesir-desir, “manusia butuh jendela, demi dan hanya demi keinginan memetik yang sena...

Hipotenusa dari Tuhan

Gambar
Tuhan tidak pernah menghilangkan rasa yang ada di dalam setiap dada manusia. Entah itu perasaan kesal, senang, suka, atau hal biasa sekali pun. Semua memiliki wujud dengan sendirinya; bersistem dan tentu tidak dapat diterka kapan berakhir dan memulainya kembali. Manusia lemah ialah yang mengaku punya perasaan, tetapi sulit merasakan; mungkin salah satu penyebabnya ialah keterpaksaan yang dialami dengan berbagai tumpukan beban yang dibawa. Sebaliknya, manusia yang berperasa peka, ia terkadang akan meringkuk pikiran, kemudian hatinya, dan berakhir dengan ketakutan yang diciptakan sendiri. Untuk apa? tidak lain agar perasaannya tidak menjalar ke seluruh semesta dan bermuara pada kekesalan. Boleh jadi, perasaan yang menggebu pagi ini, akan lenyap tanpa perantara pada siang, sore, malam, besok, lusa, ataupun kapan saja, yang telah Tuhan gariskan waktunya untuk melupa. Mengapa Tuhan menciptakan ‘rasa’ jika manusia tidak mampu menjabar pertanyaan klasik itu? maka, seperti itulah yang dial...

BUNGA KEMATIAN DI KOTA LALOPI

Gambar
Suatu kabar yang membuatku paling bahagia di dunia ini, adalah kabar perihal kematian. Sekalipun orang berpikir aku gila, tapi aku tetap berdiri tegak di atas tumpuan perasaanaku. Bagiku kematian membawakan keberuntungan tak terduga-duga, aroma bunga mawar, melati bercampur kenanga dan cempaka semerbak di hidung-hidung peduka. Daging tak bertulangku akan tersungging sedikit manis ketika orang-orang meratapi jenazah. Mataku jarang panas, tak mengenal aliran peluh di permukaan pipi. Bahkan selama tiga puluhan tahun ini aku selalu memanjatkan doa supaya banyak manusia meninggalkan dunia. Waktu menghitung sekitar tiga bulan sekali setidaknya ada minimal tiga manusia pamit pergi, paling sering di bulan ramadan, waktu singkat peluang merimbunkan pahala. Bahkan pernah ketika pantat-pantat warga Kota Lalopi berada lebih atas dari kepalanya, seorang setengah tua diambil ruhnya. Malam pembacaan kitab suci mendadak histeris penuh mata-mata pucat berpeluh kesengsaraan ditinggalkan rekan l...