Hipotenusa dari Tuhan


Tuhan tidak pernah menghilangkan rasa yang ada di dalam setiap dada manusia. Entah itu perasaan kesal, senang, suka, atau hal biasa sekali pun. Semua memiliki wujud dengan sendirinya; bersistem dan tentu tidak dapat diterka kapan berakhir dan memulainya kembali. Manusia lemah ialah yang mengaku punya perasaan, tetapi sulit merasakan; mungkin salah satu penyebabnya ialah keterpaksaan yang dialami dengan berbagai tumpukan beban yang dibawa. Sebaliknya, manusia yang berperasa peka, ia terkadang akan meringkuk pikiran, kemudian hatinya, dan berakhir dengan ketakutan yang diciptakan sendiri. Untuk apa? tidak lain agar perasaannya tidak menjalar ke seluruh semesta dan bermuara pada kekesalan. Boleh jadi, perasaan yang menggebu pagi ini, akan lenyap tanpa perantara pada siang, sore, malam, besok, lusa, ataupun kapan saja, yang telah Tuhan gariskan waktunya untuk melupa.
Mengapa Tuhan menciptakan ‘rasa’ jika manusia tidak mampu menjabar pertanyaan klasik itu? maka, seperti itulah yang dialami Ken pada malam-malam ganjil sebelum dirinya dinyatakan sebagai manusia tidak berperasa. Tiada yang salah dengan keputusan warga Dukuh 3 yang menobatkan Ken sebagai kandidat mati muda usai menenggak kenangan beberapa gadis pilihan. Keputusan itu diambil secara mufakat oleh ketua RT ketika tepat malam ke-21 Januari lalu, Pak Ramzali, “Keputusan ini mungkin tidak kamu sukai, Nak. Namun, ketahuiah! bukankah lebih baik kamu tidak menyukai keputusan ini daripada tidak disukai seluruh warga?” Ken diam, tetapi tidak dengan pikirannya yang rimbun dengan kata, “Dasar!”
Semakin rimbun isi kepala Ken, semakin banyak pula kalimat yang ingin diributkan dan mereka akan memperebutkan gelar, siapa yang benar untuk persoalan yang dianggap kejam dan butuh analisis kecermatan yang lebih. Mungkin ada sesuatu yang dapat diklaim sebelum semua menjadi sia-sia.
Pixabay.com

Ingin dia mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak mau lagi untuk memiliki perasaan, cinta misalnya. Dia ingin melupakan perasaan yang seringkali dititipkan Tuhan melalui dirinya. Semakin kuat dia berusaha melupakan, maka sekuat itulah ingatannya merekam ingatan.
“Kenapa hanya aku yang dikira menebar cinta? bukankah yang memiliki cinta adalah Dia dan aku hanya perantara. Lantas, siapa yang patut dipersalahkan--aku atau Dia--dalam hal ini?” katanya suatu kali ketika berdebat dengan orang sekitar.
Tiada hukum pengabaian jika peduli menjadi ladang pertemuan antara rindu yang dibesarkan dengan ketepatan. Semenjak itulah dia sadar jika seandainya menjadi terasing adalah pilihan teraman sebelum menjajaki dunia kemusnahan. Barangkali sepi adalah musuh terbesar untuk dijadikan teman agar tiada lagi pencitraan dan isu kesalahpahaman.
“Aku tidak mau dianggap sebagai pengkhianat atau memperjualbelikan perasaan wanita-wanita itu. Mereka saja yang salah mengartikan, kemudian aku dianggap sebagai sumber kerusuhan.”
“Bukan begitu, Ken. Aku menghargai keputusanmu dan tidak menyalahkanmu. Biarkan saja anggapan orang merebak, perlahan ia akan lenyap dengan sendirinya. Kita tidak perlu pusing dengan anggapan yang mereka ciptakan,” Sarah menjelaskan walaupun Ken enggan mendengarkan ocehannya.
Antara Ken dan Sarah tiada hal yang perlu diklarifikasi sebenarnya. Mereka tumbuh sebagai teman dengan hubungan simbiosis mutualisme. Ken memerlukan seseorang yang dapat mengarahkan jati dirinya. Sarah memerlukan orang yang mau diajak duduk meskipun sekadar berdiam dan tidak mendengarkan ceritanya. Dan, bangku-bangku taman itulah yang menjadi saksi; perdebatan, keluhan, tertawa, dan terkadang hanya menikmati lalu lalang pengguna trotoar jalan. Semua adalah lukisan Tuhan yang diciptakan untuk direkam oleh masing-masing lensa manusia yang bernama mata.
“Aku ingin tinggal di sini, menanam mimpi dan menuainya ketika hatam pengejaranku. Apalah daya, keinginan itu tiada sebanding dengan keadaan. Mimpiku jauh di sana,” Sarah berucap mengiba.
“Aku ingin menghindari keramaian dan bersembunyi dengan kesendirian.” Ken menyela.
“Mungkin ada ruang suatu waktu untuk kita berbagi kembali?”
“Mungkin! Ada garis hipotenusa dalam kehidupan ini. Sejauh apa pun kita menjauhi titik pada sudut siku-siku, maka kemungkinan kita akan bertemu kembali dengan cara teorema phytagoras. Sejauh apa pun kita menjauh dan saling melupakan, pada hakikatnya akan dipertemukan dengan kemungkinan yang lain: bertemu. Karena kuadrat pada hipotenusa adalah sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi penyikunya dalam segitiga siku-siku, maka yang terkuat dari kepergian ialah bertemu, bukan?”
Mereka sibuk dengan tindakan diam.
Pulang! Ken pulang dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan pelangi setelah hujan; segar bunga usai disiram airmata ketulusan; dan aroma tanah yang menyeruak usai dijatuhi air langit.
Sementara ada hal yang harus dibaca oleh keadaan dan menjelaskannya kepada penghuni bumi. Ada sebab yang menjadikan akibat terlanjur terucap. Sarah mengecup perpisahan dengan tersenyum.

Shofiyah
Kraksaan, 30-31 Maret 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis