Resensi Cerpen Kunang-kunang dalam Bir
Penulis :
Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu
Cerita pendek Kunang-kunang dalam Bir adalah kali pertama saya membaca Agus Noor
dan kepiawaiannya merangkai tragedi dengan keintiman dan juga erotisme yang
benar-benar seperti tubuh-tubuh dalam kisah Djenar Maesa Ayu yang lain. Dan hal
ini begitu nyaman dibaca oleh segenap saya; mata, bibir dan jiwa saya
menikmatinya hingga baris terakhir!
Kunang-kunang
dalam Bir menjadi kisah yang berkesan-bagi saya, dan
saya kira hal ini karena Agus Noor mampu mengangkat kerinduan, sebagai mimesis
paling purba dalam sejarah manusia, sebagai hal yang begitu lazim dan lekat,
menjadi sebuah kisah sederhana – perenungan di sebuah kafe yang sendu.
![]() |
Pixabay.com |
Bagaimana bisa kerinduan-kerinduan itu,
pelarian terhadap bir dan kunang-kunang menjadi berhubungan satu sama lain? Hal
ini tentunya menimbulkan pertanyaan dan jawabannya teramat lewah, jamak dan
variatif ketika kita meletakkannya di khazanah sastra dan prosa yang menawarkan
kebebasan yang teramat sangat. Kerinduan, pelarian, penafian dan remang
kunang-kunang barangkali adalah elemen-elemen dasar yang menyusun tubuh cerpen
ini, sebelum kemudian didandani sedemikian rupa dan menemui kita untuk
berkisah.
Dalam cerpen ini Agus Noor, alih-alih
membawakan kita sebuah pengantar di awal cerita, justru membawakan kita sebuah
katarsis yang telah menjelang musim gugur; si aku sedang menenggak kenangannya
yang entah apa, dan kita seolah diposisikan sedang duduk di sampingnya,
mendengarkan ia bergumam sendiri dan kita “terpaksa” dan “ingin” mendengar
lebih jauh perihal kenangan sialan itu. Terlepas dari kodratnya sebagai cerpen,
Noor tidak mengajak kita untuk “hanya” membaca cerpennya. Ia, dengan jari-jari
magis kata-katanya, justru terkesan mengajak kita mendengar tokoh aku ngedumel tentang kerinduannya pada
sesosok gadis yang di kala dulu saban kali mengantarkan bibirnya kepada
ciuman-ciuman panjang dan obrolan-obrolan manis tentang keinginan untuk mati
dan menyulap dirinya menjadi kunang-kunang, serta penyesalannya terhadap
pilihan-pilihan yang di kala dulu masih mungkin dan berpintu.
Tapi
mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu?
Ketika
segala kemungkinan masih berpintu?
Begitulah kata si aku, dan berangkat dari
penyesalan itu, selanjutnya kita dikisahkan lebih jauh tentang
kenangan-kenangan milik aku, disambi menenggak gelas bir keempat, kelima dan
seterusnya. Pertemuan-pertemuan yang tertunda, penantian dan
kebetulan-kebetulan yang diandaikan si aku, beserta betapa lepasnya
penggambaran si aku mengenai lekuk tubuh kekasihnya semasa dulu terasa begitu
karib dan intim, mengingatkan aku kepada sosok Jiwa Matajang dan isi kepalanya
yang lengkap dirangkum dalam Lelaki
Terakhir yang Menangis di Bumi milik Aan Mansyur. Aku benar-benar jadi
mampu membayangkan seekor kunang-kunang keluar dari pejam mataku dan pendarnya
nampak begitu remang, mencari-cari sosok tubuh yang dadanya teramat ingin
dihinggapi oleh aku. Dan kedekatan yang disuguhkan melalui diksi kesusasteraan
yang sederhana dalam kisah ini membuat kerinduan-kerinduan menjadi berdesir
dengan mudahnya.
Agus Noor telah menyuguhkan alur yang
teramat bening dan elaboratif, walau terkesan melepas kita di pintu depan kafe,
dan membiar kita menjadi pendengar yang baik – dan tentunya, disuguhkan kisah
yang lengkap mengenai si aku dan kekasihnya di kala dulu -, namun, ternyata
menyisakan pertanyaan yang membuat kita tidak hanya diberkahi dengan perasaan
welas asih bekas cerita, namun juga penasaran, apakah mantan kekasihnya
benar-benar datang ke kafe untuk menemui si aku? Ataukah ternyata yang datang dan
hinggap di gelas bir itu adalah si aku yang telah menyulap dirinya menjadi
kunang-kunang? Katarsis kedua yang dapat diinterpretasikan dengan lepas ini,
menurut saya adalah kelebihan yang manis dari Kunang-kunang dalam Bir, dan memberi saya ruang untuk, alih-alih
melupakan apa yang baru saya baca, berpikir dan menghayati tragedi-tragedi dan
kerinduan dengan perasaan yang lebih sendu dari sebelumnya.
Tokoh-tokoh dalam semesta kafe ini hanya
dua orang saja, namun secara ajaib telah mampu membuat pembaca merasa puas dan
karib walau hanya diperkenalkan melalui adegan ciuman-ciuman panjang dan
obrolan singkat antara keduanya. Konsistensi penuturan sudut pandang yang
disuguhkan terbilang stabil, dan dialog yang dituturkan oleh tokoh perempuan
mampu melengkapi kemelut yang berkelindan di kening tokoh aku.
Cerita ini menyuguhkan kepada kita bahwa
kerinduan adalah hal yang lazim dijumpai di kehidupan siapa saja dan bebas
diberikan kepada siapa saja – bahkan istri orang sekali pun-, juga kenyataan
bahwa perenungan dan penantian sebagai salah satu cara menghayati kerinduan itu
bisa menjadi demikian manisnya. Tokoh aku adalah sosok yang barangkali juga
bersliweran di antara kita, bahkan bisa juga menjadi kita. Dan, izinkan saya
mengutip Nietzsche, bahwa ternyata ruh telah diberkati kemampuan untuk dengan
tabah dan sabar melewati keburukan,
tekanan panjang – dengan sabar dan dingin, tanpa menyerah, namun juga
tanpa harapan. Barangkali, ketika di kali lain kita menjumpai kerinduan itu,
kamu juga, akan mau duduk di kafe, dan bercerita kepada saya soal kerinduan
itu, dan saya akan mendengarnya hingga tuntas.
Larung Limaluka
Kotabunyi, 5 April 2019
Komentar
Posting Komentar