“Sandyakala di Pelupuk Matamu”
:untuk Lantip Mestika Pancarani
Di
suatu petang di dada kala, di hari baik, bulan baik dan tahun yang baik pula,
Tuhan sedang ngopi dan berlatih
membaca puisi – dari bibirNya yang teramat molek dan mirip ciuman-ciuman selamat
tidur, aksara mengalir -.
Membaca puisi itu – yang,
kukira, mungkin puisi Sylvia Plath atau Neil Hilborn, lamat-lamat aku mengingat
ada nyeri yang berdenyut-denyut dan meleleh dari halamannya -, Ia mengernyitkan
alisNya, diletakkanNya kopi dan tubuh puisi itu dengan perlahan, dipetikNya
sehelai senja dari tiada, bibirNya merekah setelah mengelupasi nyeri dari
kata-kata, berbisik Ia, “kelak manusia akan mampu juga memetik senja dari
sesuatu; pipi, tengkuk, bibir, celana, dan kembang plastik yang dipaksa mekar
di luar garba musim-musim yang bergegas meniti detik,” senja menguar-nguar
aroma tubuhnya, senja berdesir-desir, “manusia butuh jendela, demi dan hanya
demi keinginan memetik yang senang-senang.”
![]() |
Pixabay.com |
***
Sebentuk
aku tengah mendudukkan tubuhnya di kursi yang nampak malas, mencangking buku
kecil bersampul kulit dan usia, tubuhnya yang moyak menggigil dan bergidik
menghayati musim hujan, ia, mendadak ingin, dan mulai membaca yang telah ia
tuliskan semasa kecil dulu. Sebentuk aku telah menyusun tubuhnya yang ringkih
dan gemetar dari detik dan omelan-omelan ibu yang mirip cerita pendek dan
puisi. Sebentuk aku telah lama menjumputi puisi untuk kemudian dianyam sendiri
menjadi baru dan pernah. Sebentuk aku mulai membaca tubuhnya sendiri. Tertulis
bahwa dulu sebentuk aku telah jatuh cinta dan menyulapnya menjadi siapa untuk
dikenang di waktu-waktu senggangnya.
Sebentuk
aku adalah yang tengah mengingat nama-nama kecil dan panggilan sayang yang
diucapkan dengan malu-malu. Sebentuk aku tumbuh dewasa di sela-sela kata dan
tubuh-tubuh pena yang dengan berani menggoreskan ciuman di bibir kertas.
Sebentuk aku dulu tidak tahu mana bibir, mana anyelir; kata ibu anyelir adalah sebagian
nyeri, sebagian lagi adalah cantik walau di waktu-waktu tertentu mereka mampu
melengkapi satu sama lain; kata ibu juga ciuman adalah ketika bibirmu meraba
yang tadinya tiada, dan melukiskannya untukmu bahkan ketika kamu memejamkan
mata sekali pun. Sebentuk aku telah jatuh cinta dan menyulapnya menjadi nama
untuk dikenang kelak, di masa-masa yang jauh dan penuh rindu.
Sebentuk
aku adalah yang dengan gontai menyisir aram-temaram setelah mengerat sebagian
dari hatinya dan melukirnya menjadi kalimat tapi tidak mendapati ada sepasang
lengan yang mirip sebuah pulang. Sebentuk aku adalah yang mencelupkan nyeri ke
dalam kopi dan menyesap hangat tubuh geni
dan melahirkan beluk yang mencangking angan-angannya ke langit-langit teras
untuk kemudian disulap menjadi tiada, dan mengulanginya selama dua minggu empat
hari sesudahnya. Sebentuk aku telah jatuh cinta dan melumuskan puisi yang
teramat sangat ke belum-belum bibirnya, untuk mencium gadis yang kelak
adalahmu.
Apakah
sebentuk aku masih mengingatmu?
Kalau
sebentuk aku menanggalkan bentuknya apakah akan ada kamu?
***
Sebentuk
aku pernah mendengar bahwa kelak manusia akan membutuhkan jendela, demi dan
hanya demi keinginan untuk memetik yang senang-senang – dulu ibu pernah berkata
begitu, bahwa jendela akan menyokong tubuhmu, dan membolehkanmu memetik yang di
seberang sana, bahkan senja sekali pun -.
Sebentuk aku yang
rambutnya ikal tur mayang itu, mengernyitkan alisnya dan mengingat
keinginan-keinginan masa kecilnya; makan cenil, melukis riap-riap pohon belimbing
wuluh di belakang rumah, dan menjulurkan jari-jari mungil ingatan semaunya –
misalnya mengingat bahwa ada pekerjaan rumah yang rumpang dan luput sebab
kantuk ternyata datang lebih cepat dari bunyi cengkerik di kebun -. Tidak ada
keinginan memetik sesuatu dalam sebentuk aku. Tidak ada keinginan untuk memetik
dan menjerabut sesuatu dari pulangnya.
Mendadak degupnya
tralala. Jari-jari mungil ingatan memetik siluet kekasihnya. Oh, dan kata-kata
yang telah dirangkai jarinya semasa belia dulu :
Dan kelak tubuhmu akan berlumus rindu,
kekasih, dia akan ingar bingar di lekuk tubuh dan buah dadamu; melahirkan nyeri
sebab jarak, menumbuhkan puisi sebab jamaknya. Dan aku akan mengelupasi nyeri
yang bersiung-siung dari tubuhmu dalam suatu ibadah mandi, aku akan mengeja
puisi yang telah gadis di tubuhmu.
Demi
dan hanya demi rindu itu sendiri.
Sebentuk
aku mengingat puisi yang ditulisnya ketika menumpahkan senja di mata kekasihnya
karena kakinya diselimpung lindu yang bersemayam di siut bunyi Angin Mammiri.
Kekasihnya
yang kamu itu dikisahkan menangis.
Ia
lari. Ia takut. Takut lantaran senja membutakan kekasihnya yang kamu.
Dan
ketika lari ia menanggalkan tubuhnya, menjadi bentuk.
Apakah
sebentuk aku masih mengingatmu?
Kalau
sebentuk aku menanggalkan bentuknya apakah akan ada kamu?
***
Aku
Lantip Mestika Pancarani. Aku masih perempuan. Tubuhku adalah berani, aku
mengenakan puisi yang telah dilukir oleh waktu. Waktu membentuk tubuhku sebagai
lekuk tapi tidak menorehkan usia di kantung mata dan pipiku. Aku dilukiskanNya
sebagai gadis yang gemar menanti, rambutku pendek sebahu, anganku panjang dan
rahimku masih basah seperti rumah-rumah yang berdiang di bawah unggun gerimis.
Aku tidak tahu mengapa
gerimis boleh unggun, tapi aku merasa gerimis adalah anyam-anyaman perpisahan;
di sana ada kecupan selamat tinggal dan pelukan yang hanya diangankan tapi
tidak sempat diisyaratkan bahkan oleh lambaian tangan yang mirip nyiur sekali
pun.
Aku
Lantip, dan masih perempuan. Aku bicara banyak, tapi aku buta. Dulu kekasihku
menumpahkan senja ke pelupuk mataku. Kata orang-orang aku menangis ketika itu. Padahal
tidak, itu adalah ombak yang berdesir-desir dan tumpah. Sekali waktu kau akan
menemui lokan berserakan di pipiku dan ada surat dari jauh yang bergelung dalam
botol. Kata orang-orang aku menangis karena senja membutakan aku. Padahal
tidak, buih-buih membawa pulang ke pelupuk mataku, dan aku melihat senja yang
sama sekali berbeda dengan senja yang kaubayangkan ketika membaca aku. Senja
ini lebih jingga dari jingga, lebih merah dari amis anyir darah, lebih siluet
dari legam jelaga, walau tidak ada kamunya.
Aku
senang senja cemanthel di pelupuk
mataku. Tapi aku terlalu lama berdiam di sana. Aku bukannya tidak mau
mengelupas senja dari mataku. Kalau aku bisa, telah lama aku tanggalkan ini
senja biar aku bisa melihat yang lain; buku, pedagang tahu, rajungan, gendu,
malam pembacaan puisi di alun-alun. Tapi di pelupuk mataku jari-jari meraba
tiada. Hanya ada angin semilir, dan bunyi ombak.
Huh,
sialan. Kekasihku yang pengecut itu lari lantaran mendengar orang-orang
menuduhnya membuatku menangis dan mau menyayanginya beramai-ramai di depan
rumah carik.
Kudengar
kini dia adalah sebentuk aku.
Apakah
sebentuk aku masih mengingatku?
Kalau
sebentuk aku menanggalkan bentuknya apakah akan ada aku?
***
Aku
sedang akan berniat menunaikan ibadah mandi, dan akan mengajari bulir-bulir air
untuk mengeja lekuk tubuhku ketika mendadak pintu rumahku diketuk. Kulangkahkan
sepasang kakiku ke pintu depan. Kudapati ada seorang pria dengan rambut ikal
tur sayang dengan alis mengernyit tampak cemas, pucat dan gemetar.
“Apakah
ada Lantip Mestika Pancarani?”
“Ada.
Dia sedang merumat lautan pasir dan kata-kata, sedikit buih dan beberapa nyiur
yang tumpah ke gembil pipinya. Dan Anda?”
“Aku
adalah Aku.”
“Wah,
Ibu telah menunggumu. Ibu bilang di pelupuk matanya ada senja, dan Aku, suatu
hari, akan menanggalkan bentuk dan memetik senja dari pelupuk matanya.”
Pria
itu menghampiri ibuku yang sedang membuat waktu untuk merumat senja sambil
duduk di kursi goyang. Pria itu menunduk.
“Maaf,” katanya lirih,
“aku baru akan memetik senja yang tumpah itu setelah puluhan tahun mengenakan
sebentuk tubuhmu.” Ia menggoreskan ciuman di bibir ibuku, ciuman itu terasa
begitu lama, manis dan – kau boleh tidak percaya, tapi aku benar-benar melihat –
ada daun jendela berhelai di pejam mata ibuku ketika cium itu sumekar, dan senja itu menguar dari
matanya, menyisakan bening mata ibuku.
Aku berhasil memetiknya
dengan cium dan jendela.
Aku kemudian meletakkan
senja itu di atas dipan. Aku bilang, “ternyata manusia itu, kekasih, memang
butuh jendela; demi dan hanya demi menjamah kala.”
***
Aku
telah memetik senja dari matamu melalui jendela, kekasih. Demi dan hanya demi
nubuat yang telah paling purba di nun ingatanmu.
Larung Limaluka
Kotabunyi, 9 April
2019
Komentar
Posting Komentar