BUNGA KEMATIAN DI KOTA LALOPI
Suatu kabar yang membuatku paling bahagia di dunia ini, adalah kabar
perihal kematian.
Sekalipun orang berpikir aku gila, tapi
aku tetap berdiri tegak di atas tumpuan perasaanaku. Bagiku kematian membawakan
keberuntungan tak terduga-duga, aroma bunga mawar, melati bercampur kenanga dan
cempaka semerbak di hidung-hidung peduka. Daging tak bertulangku akan
tersungging sedikit manis ketika orang-orang meratapi jenazah. Mataku jarang
panas, tak mengenal aliran peluh di permukaan pipi. Bahkan selama tiga puluhan
tahun ini aku selalu memanjatkan doa supaya banyak manusia meninggalkan dunia.
Waktu menghitung sekitar tiga bulan sekali
setidaknya ada minimal tiga manusia pamit pergi, paling sering di bulan ramadan,
waktu singkat peluang merimbunkan pahala. Bahkan pernah ketika pantat-pantat
warga Kota Lalopi berada lebih atas dari kepalanya, seorang setengah tua
diambil ruhnya. Malam pembacaan kitab suci mendadak histeris penuh mata-mata
pucat berpeluh kesengsaraan ditinggalkan rekan lelap dari atas ranjang.
Pusat perhatiannya ada di antara dua
musim, ketika musim basah warga sibuk mencari pasangan kawin, janur-janur
dilengkungkan di emperan jalan, sementara di akhir musim kering, bayi-bayi
dilahirkan, tangisan menjerit kompak meronta hendak memasukkan dunia dalam
genggaman, di antara dua jarak tersebut bisa dikatakan kematian seperti sebuah
perputaran detik, dekat dan tak bersekat.
![]() |
Gambar : Google |
Aku lelaki tua, bermahkota empat puluh
tahun waktu. Detak detik kusinggahkan dalam perenungan sepanjang masa.
Gerak-gerik jejak tertuntun ke singgasana kelana, menjadi pengamat kehidupan
manusia di sekitar, yang pelupa meski catatan amal terekam erat oleh indra mata
telinga, yang tuli dengan kesukaran-kesukaran rekan, melambai tangan ucap
selamat tinggal dengan bingkai kesabaran, dan yang penghapal dosa namun sering
meleburkan dengan doa.
Karakter manusia yang tergambar dalam
pikiran, membuatku enggan berinteraksi dengan banyak orang. Boleh digarisbawahi
sebagai sosok pendiam dan figur beku. Bagiku hidup seatap dengan orang lain
agak repot setelah mengamati detail tatapan bola mata Ika, wanita muda yang
sudah dua tahun menikah. Ia berkunjung ke surauku jika pipinya lembab dan
suaranya serak, langkahnya terarah spontan menujuku, seolah jejak-jejak yang
selama ini terekam rerumputan liar itu adalah sebuah peta abadi, petunjuk
tempat bernaung instan yang siap dijadikan relawan. Ia jarang bicara banyak,
jika datang hanya menatap lamat-lamat permukaan meja, menjentikkan
jari-jarinya, meneropong jauh ke alam yang entah, sembari menyesapi seduhan
kopi panas yang kubuatkan. Dari binar mata berkacanya, terbaca jelas jiwanya
sedang dibanjiri gulana.
“Siapkan
karangan bunga yang indah, aku ingin dirimu yang menghias kerandaku dengan
bunga-bunga di pekarangan rumah.” Suaranya mengalir datar, terucap tanpa pikir
panjang namun terdengar seperti sihir mematikan. Hatiku mendadak kelu. Aku
mendesah, kemudian bangkit dari tempat duduk untuk mentralisir suasana. Di luar
sana, tempat peristirahatan terakhir dinaungi kabut-kabut tipis pengendong
embun, udara dingin menyusup malu-malu melalui celah dinding kayu, bunga-bunga cempaka
dan mawar yang mekar tampak gagah seolah memberi isyarat kepadaku untuk segera
memanennya. Pupilku fokus pada persimpangan jalan. Seorang kakek tua penuntun
sepeda menyebrangi jalan.
“Kau
masih muda,” pita suara kubunyikan sementara jemari kugerakkan menyibak gorden
jendela.
“Buatkan
karangan bunga terindah yang belum pernah kau rakit untuk orang lain, berikan
padaku saat kau melihatku meninggal.”
“Kau
masih muda.” Aku menegaskan.
“Orang
hidup dalam kesunyian dikelilingi mayat-mayat sepertimu tak akan pernah
memahaminya.”
“Kau
bahkan tidak menceritakannya, dengan alasan apa aku harus memahaminya?”
Ia
mengembuskan napas beratnya, uap oksigen dari lubang hidungnya dikeluarkan.
Kutatap sejenak wajahnya, tirus anggun, bola mata bulat dan bibir tipis
penggoda, dan urat lehernya menegang.
“Sudahlah,
aku sedang berwasiat.” Alih-alih menjelaskan, ia justru menggebrak meja dengan
kopi yang kubuatkan, tanpa kata keluar rumah. Kuburan dilaluinya dengan emosi.
Tak lama
setelah kepergian Ika, kakek tua penuntun sepeda mengetuk rumahku, ia
mengantongi kabar duka dari RT sebelah, dua puluh pemuda mati setelah menenggak
tuak dicampur dengan tape. Aku tersenyum manis. Hal ini merupakan kabar baik
yang jarang terjadi, membayangkan mayat-mayat di dalam keranda membuat
jantungku berdebar-debar tak karuan, aku tak perlu berdebat kusir menawar harga
karangan bunga pengias keranda dan bunga-bunga yang akan ditaburkan di atas
kuburan sebab pesananaku lumayan banyak, jika aku pemborong pekerja bangunan,
aku sedang untung besar-besaran.
“Bunga-bunga
akan segera datang. Tuliskan saja alamat dukanya, letakkan di atas meja, aku
akan memetik bunga-bunga di pekarangan rumah.”
Kota Lalopi terdiri dari sebelas Kotabapak
dan enambelas Ibukota. Konon negara asing menjuluki kota ini sebagai kota
makmur yang warganya telah sejahtera. Setiap bulan sekali ada santuran materiel
dari pemerintah. Jaminan kesehatan dan pendidikan gratis. Infrastruktur
terbangun optimal dan megah-megah. Lugunya banyak warga yang gemar menenggak
tuak, dan hal itu merupakan budaya yang melekat. Beruntung sekali, tuak membuat
penenggaknya menjadi pecandu, jika sudah overdosis mereka akan mati terbujur
kaku. Karangan bunga kematian-kematianaku pun akan laris, dan keuntungan
melimpah di kantongku.
Bunga-bunga yang telah kupetik kusulam
dengan benang, jarak antara bunga satu dengan bunga lainnya kusela dengan daun
pandan, jika sudah ada lima buah, kuikat menjadikannya satu. Bunga itu akan
diletakkan di atas keranda mayat. Sementara khusus pada bunga mawar, cempaka
dan melati, kurontokkan kelopak-kelopaknya untuk taburan permukaan kuburan. Aku
membuat seratus sulaman bunga berdaun pandan, dan dua puluh keranjang taburan
kuburan, tak lupa lengkap dengan nisan-nisannya. Kuangkut dengan gerobak
mengirim ke rumah-rumah duka. Sebagian ada yang kuantar sendiri, sebagian ada
yang dikirim pengabdi-pengabdiku.
Aku menyaksikan segelintir manusia penuh
dengan ratapan, entah itu bayaran atau memang begitu adanya. Di Bapakkota
Lalopi orang-orang tunduk khidmat merasakan kepedihan yang mengalir misterius.
Wanita-wanita berkerudung hitam dan mata mereka sembab. Yasin dibacakan di
dekat jenazah. Suara-suara serak meronta syarat kekecewaan. Keluarga
benar-benar dirundung kehilangan yang menyakitkan. Anak tercinta, terbanggakan,
terberharga, termenguntungkan juga termerugikan lenyap dari muka bumi. Jasa ibu
mengandung sembilan bulan bahkan belum terlunasi, sementara sang anak telah
pergi lebih dahulu. Sakit dan amat perih terlukis jelas pada paras bersaksikan
puluhan warga yang ikut berbelasungkawa.
Pada Ibukota aku melihat duka sebatas pelengkap
kematian, tidak mengalir dari jiwa yang dalam, melainkan ucapan dangkal.
Wajah-wajah yang ditinggal tetap cerah, tak terdengar ratapan dan kegelisahan,
bahkan kesedihan tampaknya malu dan ragu menampakkan diri, justru di
kursi-kursi belasungkawa mereka berkasak-kusuk menggosipkan kehidupan rumah
tangga, ironi tentang seorang lelaki. Petakziah yang hadir memasukkan amplop ke
dalam kotak kemudian melengang pergi usai menjabat tangan tuan rumah.
Penggiring jenazah tak terlalu banyak. Berbeda tempat berbeda suasana upacara
dukanya.
Di Bapakkota sebelum jenazah dimakamkan,
ia dibawa ke masjid untuk disholatkan, sementara di Ibukota jenazah ditidurkan
di ruang tamu pemilik duka kemudian disholati oleh orang-orang tertentu yang
mau menyolati saja. Ah, aku tak
mengambil pusing semua itu, yang jelas karangan bungaku telah sampai di tangan
mereka dan kantongku penuh dengan rupiah. Di hari selanjutnya aku tinggal
menunggu kabar kematian terbaru.
Dua puluh mayat lunas dikebumikan, malam
harinya penjuru Kota Lalopi dihujani tangisan langit, meraung-raung membawa
badai dan berteriak-teriak menciptakan serabut petir. Kuburan di dekat rumahku
terhunus sepi yang lebih panjang dari rel-rel kereta api. Kabut berlapis-lapis
di permukaan gundukan tanah berupaya menyembunyikan siksaan-siksaan pedih.
Nisan yang beberapa kali tertatap menyiratkan keibaan pada pemilik nama yang
tertimbun, kuburan-kuburan seperti melololong memohon pertolongan. Jika saja
aku tidak menyalahi takdir, kuburan-kuburan itu sudah kubongkar, mayatnya akan
kubekukan di dalam kulkas supaya abadi.
Hari
mengandung minggu kemudian beranak bulan, tepat pada angka kedua bulan, Pak
Hudin warga perbatasan antara Bapakkota dan Ibukota menggedor-gedor rumah. Aku
yang sedang dipersibuk dengan jahitan celana robek bergegas membukakan pintu.
Kusingkap badan kayu yang menjadi penyelamat tubuhku dari rayuan gigil malam.
Ia memandangku sebatas ungkap kesengsaraan. Air matanya seperti bekuan es yang
mendadak meleleh. “Tolong, tolong, kerangka bunga ... segera!” ungkap
tersendat-sendat. Ada sebuah baris kata yang tak sanggup diucapnya, bukan lebih
tepatnya sebuah nama yang tak mampu dikeluarkan.
Aku menyuruhnya masuk ke dalam rumah,
memintanya duduk agar batinnya tenang sejenak. Di atas bangku bambu dan sebuah
meja kayu tua ia berkeluh kesah. “Aku
kehilangan anak, ia akan pergi jauh. Diriku tak akan pernah lagi mampu melihat
kelakarnya,”
Kukira,
ia ditinggalkan sang mertua, rupanya tidak. Ini lebih berat dari sekadar
kehilangan keluarga, lebih curam luka yang tertoreh, segumpal dagingnya akan
membusuk di alam barzah, setitik darahnya yang dinanti-nantikan selama dua
tahun dahulu kini meleburkan diri dalam pengakhiran. Sungguh ironi! Hal paling
berat dari sorot mata-mata peduka adalah kehilangan anak-anak mereka. Aku
perangkum duka-duka di Kota Lalopi, dan aku sangat paham hal yang paling
membuat jiwa dan waktu rugi adalah ketika anak adam wafat. Kepala keluarga akan
dilanda duka bertalu-talu, berkurun-kurun waktu lamanya, sehingga membuat yang
ditinggalkan enggan menghirup rempah makanan, tak selera dengan dahaga di
tenggorokan, kata-kata yang terlontar pun amat miris.
“Harusnya
aku saja yang mati, harusnya aku tidak menyuruh anakku pergi sekolah. Oh tidak!
Harusnya aku tak pernah menyekolahkan anakku dari kecil,” Kalimatnya tak akan
jauh berbeda dengan apa yang diucapkan Pak Hadi.
“Ada
tawuran antar pelajar di pusat kota,
lima anak tewas terkena tusukan benda tajam, salah satunya adalah keponakanaku.”
Ika tiba-tiba bersuara dari ambang pintu. Duka dua orang ini kutafsir saling
berkaitan.
“Dan
satunya lagi anakku,” Pak Hadi mengimbuhi penjelasan. Ika terisak. Ia
menyampirkan kerudungnya di bahu kemudian mendekat ke kursi bambu yang aku
duduki.
“Buatkan
karangan bunga, jenazah akan segera dimakamkan. Berapa pun biayanya akan aku
berikan, asalkan aku yang paling dulu.” Ika menyogokku.
Kota Lalopi tak pernah mengenal suap,
pemerintah akan memenjarakan siapa pun yang menyuap penjabat, hukum bahkan
pendidikan. Namun, siapa peduli jika suap diberikan kepada perakit kuntum bunga
pemakaman? Suapnya tak akan pernah bernilai. Beruntungnya semenjak slogan
suap-menyuap diharamkan kota ini terbebas dari suap, warga jarang ada yang mau
berkenalan dengan korupsi. Kota Lalopi bisa dikatakan padat penduduknya, tak
heran jika orang-orang mati yang datang selalu bergerombolan. Bisa jadi ini
merupakan cara Tuhan untuk mengurangi tingkat kehidupan manusia yang terus
melonjak drastis, tak terhitung bayi-bayi kembar yang lahir, tak terbilang
pemuda-pemuda yang masih mengecam pendidikan, jika melonjak, kuota makanan di
kampung pun akan berkurang.
Tersebab tingkat kematian cukup
signifikan, Kota Lalopi lima tahun kepungkur mendapatkan piagam penghargaan
sebagai kota teraman, tentram, damai. Penjabat-penjabat pun mengagung-agungkan
keamanan dan ketentraman yang menjalar di penjuru Bapakkota juga Ibukota. Warga-warga
gembira, duka-duka tersembunyikan, senyum ramah membius pendatang-pendatang
luar kota. Semua orang takjub dengan ketundukan dan kearifan warganya. Luar
kota selalu terkagum-kagum. Sementara tawuran antar pelajar merupakan hal
wajar, mereka tak akan mengambil pusing. Alih-alih mengatasi, semuanya akan
sibuk mencela, mencari-cari celah negatif yang dapat dimasuki berita besar.
Kembali semuanya berjalan dengan lancar.
Tak ada yang mampu mengatur keharmonisan jiwa yang merana, maka amarah hak
paten pemiliknya, pertengkaran yang menimbulkan tawuran merupakan hal wajar.
Sekali lagi hal wajar. Tak akan pernah membuat siapa pun jera. Hari ini lima
mayat dikabarkan pulang ke barzah, lusa bisa jadi lima ratus mayat dimakamkan
masal.
“Aku
siap melayanimu lebih dulu, Ika. Selanjutnya Pak Hadi.”
Mereka
berdua akhirnya pulang. Pak Hadi tak berkomentar, ia sadar diri bahwa uang yang
diberikan kepadaku lebih sedikit. Kota Lalopi memang dipenuhi dengan
orang-orang yang menerima apa adanya, jarang protes dengan orang lain yang
curang. Hal itu akan membuat rusuh dan gaduh. Itulah salah satu alasan Kota
Lalopi senantiasa damai dan sentosa.
Hari itu
merupakan hari tersadis dan sangat mengejutkan bagiku, aku melihat Ika tersedu
sedan di balik pintu rumahnya. Memang ada duka, orang-orang wajar jika
menangis, namun tidak pada sorot mata Ika. Ia menyimpan ketakutan akut yang tak
dapat aku pahami, namun getaran tubuhnya yang menggigil meminta untuk dipeluk
membuatku mengerti sedalam apa lukanya yang dipendam. Setelah meletakkan bunga
di dekat keranda jenazah, aku menghampirinya yang berkabung. Sayangnya
langkahku sudah didahului Alfan, suami sahnya. Jilbab lebarnya ditarik paksa,
tubuhnya digiring masuk ke dalam. Aku melihat langsung setiap jengkal jejak
langkah Ika yang menderita.
“Masuk!
Kau ini membuatku malu! Istri tak pernah bisa menjaga kehormatan suami!”
“Apalagi
yang salah denganaku, Mas! Aku sudah cukup melayanimu, kau kumasakkan, bajumu
kucucikan, bahkan aku mencari nafkah sendiri!”
“Jangan
banyak bicara di sini, ayo masuk!”
“Apalagi
yang membuatmu malu, Mas? Apa aku kurang cantik? Aku sudah dandan! Kenapa kau
selalu marah?”
Aku tak
ingin menjadi orang ketiga di antara Ika dan Alfan, kuputuskan meninggalkan
rumah duka, ya duka yang berpangkat di benak Ika.
Sejak
saat itu, mataku jarang terpejam, Ika yang seringkali datang membawakan airmata
itu cukup menyiksa batinku, hubungan interaksi lawan jenis seringkali memiliki
bendungan-bendungan persoalan yang siap meledak kapan saja. Aku tak pernah
mengerti mengapa Ika menangis, bahkan aku tak pernah berani untuk
menanyakannya, aku hanya mampu menerka-nerka dari gerak jari-jarinya mengetuk
permukaan meja dan getar tubuhnya ketika terisak. Kupikir semuanya akan
bertambah baik jika ia bersandar di dada suaminya. Namun, pagi lampau aku mencium aroma aneh dari
gelagat suaminya. Puluhan mayat kukirimi kerangka bunga, kuburan sebelah rumah
sampai penuh, pindah ke kampung tetangga. Bayi-bayi terus dilahirkan.
Janur-janur dilengkungkan, sementara air mata Ika tak mau mengering. Setahun
lamanya sejak pertama aku melihat perselihan Ika dan Alfan, setahun lamanya
pula aku bungkam. Hanya saja Ika terus berkunjung ke rumahku, membingkiskan
kelu yang tak berujung, menangis sejadi-jadinya, hingga akhirnya pada pagi ini,
ketika musim panas tiba, ketika mawar-mawarku mekar dengan sempurna, disambut
kenanga, melati, cempaka, aster pun bunga kertas dan daun-daun pandan yang
menghijau lebat, kedatangan Ika diwakilkan.
“Aku
utusannya, Ika.” Suaranya serak-serak tak jelas, ada getaran yang membunuh
sunyi, ada hitam yang tersembunyi dari bulat matanya, ada pilu yang terpaksa
muncul dari bibir tebalnya. Ia perempuan bersanggul dengan lipatan selendang di
pinggang, ia tak kurus namun sudah keriput.
“Ika
meminta karangan bunga kematian yang paling bagus, karangan yang belum kau buat sebelumnya untuk orang lain.” Sebaris
kalimat itu menutup percakapan searah, aku belum sempat menanggapi namun ia
telah membalikkan punggung. Aku pun tak punya alasan untuk menghentikan
langkahnya. Aku tak mengerti mengapa Ika mewakilkan kunjungannya. Bagiku
permohonan Ika mengenai karangan bunga sudah bukan lagi hal yang mengejutkan.
Aku tak segera membuatkannya, karena memang begitu sebelum-sebelumnya. Ika
selalu meminta karangan bunga, namun aku tak pernah membuatkannya dengan
alasan, ia masih hidup. Orang hidup tak layak diberi karangan bunga kematian.
Satu jam
berlalu, orang utusan Ika datang kembali, “Ika meninggal.”
Jiwaku
seperti tersengat listrik, aku tak bisa berkata apa-apa. Jika aku wanita, maka
air mataku sudah luruh membanjiri pemakaman. Langkah ini bergerak gesit menuju
perkarangan rumah, kupetik seluruh bunga mawar, tanpa pisau, tanpa berhati-hati
dengan durinya, tangkainya kupatahkan, duri-durinya menusuk kulitku, aku abai.
Kubabat habis kuntum-kuntum melati, kurontokkan kenanga, kupotong tangkai leher
cempaka, bahkan anggrek kesayangnku yang mekar subur, bunga yang tidak aku
persembahkan untuk penggiring mayat, aku babat habis. Kusulam bunga-bunga itu
satu persatu, lantas tak perlu menunggu lama aku lari ke rumah Ika. Bunga
kenanga mengandung kenaganaku bersama Ika di rumah, bunga melati menyimpan
kepedihan Ika yang selama ini diratapi, bunga mawar penunjuk jalan kepergiannya
yang tak akan bisa ditawar. Semua kujadikan satu di dalam keranjang, kutempeli
kertas dengan nama mayatnya.
Warga
membicarakan kematian Ika yang tragis, konon malam sebelum jasad ditemukan di
kolong ranjang kamar, terdengar lolongan Ika meminta pertolongan. Seperti
malam-malam sebelumnya, Ika seringkali mendapatkan kekerasan dari suaminya.
Pasangan Ika merupakan sosok yang tempramental, jika apa yang ia minta kurang
sempurna, apa saja bisa menjadi pelampiasan, gelas dipecah, jendela diamuk,
lantai dipukul, kain-kain jemuran dibakar, bahkan istri pun dipukul, kali
terakhir dibunuh. Sayangnya di kota
damai ini, tak ada yang berani mengusik kehidupan orang lain, mereka pun
sepakat membiarkan apa yang terjadi. Ika telah hamil muda, perutnya mulai
membuncit, tempat persalinannya adalah kuburan.
Biadab! Suaminya sangat terkutuk. Aku tak
pernah mengerti, mengapa di kota seindah ini, emosi terlunta-lunta seolah tak
memiliki kolam pelampiasan. Aku tak pernah bisa memahami, mengapa di kota yang
tentram ini dihuni manusia-manusia berakhlak binatang menjijikkan, kasus yang
serupa dengan Ika tak terjadi dua kali saja, sebenarnya jauh-jauh hari
sebelumnya, banyak karangan bunga yang aku kirimkan untuk istri-istri yang
dibunuh suaminya sendiri, jika tidak oleh suaminya, maka oleh
pembunuhan-pembunuhan gelap yang belum diketahui pelakunya. Berita-berita
mereka menjadi headline news, sering menggaung di telinga-telinga, tercecer di
depan media-media, namun tak ada yang berupaya sempurna untuk menanggulangi
karakter biadab pelakunya yang bisa saja berganti topeng di kemudian hari, di
masa depan, di waktu bayi tumbuh menjadi dewasa, di waktu orangtua berumur
senja yang tak sempat mengamati, di waktu dunia lupa dengan jati diri
kehidupannya. Sungguh aku tak mengerti.
Mengerikannya mengapa harus Ika? Harus
Ika? Ada apa dengannya? Kurang apakah dia? Bahkan mengapa Tuhan tega mencabut
ruhnya? Terlalu sayangkah? Wanita yang kujadikan alasan aku tak kunjung menikah
itu meninggal dengan sia-sia. Aku bahkan belum sempat menyatakan perasaanaku.
Aku menyukai aroma tubuh Ika, sebagaimana aku menjaga kestabilan napasku.
Mayat Ika telah dimasukkan ke dalam
keranda, warga menungguku mengalungkan karangan bunga kematianku ke permukaan
keranda yang melengkung. Namun aku tak kunjung melakukannya, aku tak pernah
tega membuatkan bunga kematian untuk Ika, bunga yang kubawa tak layak baginya,
jika pun ada bunga yang kuberikan maka harusnya bunga-bunga penghias
pernikahan. Kutelisik satu persatu wajah keluarga yang ditinggalkan, dan yang
paling kusorot adalah muka brengsek Alfan, tanpa memedulikan apa pun dan siapa
pun, kerangka bunga kematian kukalungkan di lehernya. “Kau yang kuanggap mati,
bukan Ika. Maka kau layak mendapatkan bunga ini,” ungkapku.
Alfan geram, giginya bergemeletuk,
tangannya mengepal, ia siap menonjokku, sebelum kepalannya jatuh ke permukaan
pipiku, aku menyela, “Lebih tepatnya jiwamu yang wafat!”
Satu tonjokan mendarat.
Suasana mendadak gaduh, warga berusaha
melerai.
“Kuburkan mayat Ika dan jangan kalungkan
karangan bunga kematianku.”
Aku pulang.
Titin Widyawati
Magelang, 7 April 2019
Komentar
Posting Komentar