Antara Hujan, Razia, Aku dan Polisi



 Aku mengendarai sepeda motor matic kakakku yang sedari tadi masih melaju dengan kecepatan sedang, sore hari ini kulihat awan mulai menghitam dan sebagian masih putih bersih, aku tersenyum kala memandangi awan putih itu, aku membayangkan jika putihnya awan itu seperti putih dan sucinya diriku, sangat cantik sekali. aku mengalihkan pandangan kearah jalan raya, jalanan tidak lumayan ramai, jadi aku bisa menikmati hawa dingin menggunakan kendaraanku ini, sejuk sekali, aku yang hanya mengenakan jaket tidak terlalu tebal, masih bisa merasakan dingin. Memang tidak membuatku kedinginan, tapi membuatku geli, aku yang tidak terlalu peduli pada hawa dingin, baru kali ini merasakan dinginnya cuaca saat hujan akan datang,  ah aku tak tahu jika situasi ini benar undangan hujan, selama ini aku tak terlalu peduli pada tanda-tanda turunnya hujan, saat turun hujan ya aku bersikap biasa saja, aku menganggap jika hujan itu berkah dari Yang Maha Kuasa saja, dan aku tidak pernah mengumpat jika hujan tiba-tiba turun saat aku berada di jalan. Justru itu akan menjadi pemandangan yang seru menurutku, saat aku kehujanan, mandi hujan, seolah merefresh pikiranku yang terlalu banyak terkuras oleh pekerjaanku, seakan menjadikanku jiwa baru karena mandi air yang langsung turun dari langit, dan aku heran pada Ibuku yang ketika dulu sewaktu kecil tidak membolehkanku mandi hujan, padahal kan bisa membuat segar, sehat, dan bagai dipijat refleksi karena air turun berjatuhan di badan.

Pixabay.com

Kulihat lagi di depan, jalanan semakin sunyi dan aku tak pernah peduli pada situasi ini, aku merasa senang karena aku tidak perlu terjebak macet, saat ada pertigaan aku belok kiri dan betapa kagetnya aku rupanya di depan ada lampu merah, bukan kaget karena lampu merahnya melainkan ada banyak polisi berkeliaran sedang merazia para pengendara lain di depan. Aku menghentikan motorku, saat kulihat sudah ada seorang  polisi melambaikan tangannya di depanku, bukan karena untuk sok dekat padaku, tapi itulah panggilan tanda untuk aku berhenti dan akan di interogasi. aku memasang wajah memelas seolah tidak tahu apa-apa untuk mendapatkan iba dari pak polisi. polisi itu mendekatiku
"Permisi, mbak bisa tunjukkan surat-suratnya?"
Mendengar pertanyaan itu jantungku langsung berdegup kencang, aku mencoba menjawab
"ee.. a.. ada kok pak, sebentar ya pak"
"Baik"
"ini pak" aku menjulurkan beberapa surat, aku tak berani menatap wajah polisi itu.
"Mbak ini bagaimana sih, ini bukan surat dari kendaraan ini mbak, yang benar saja"
Aku tergugup, "sial hari ini karena motorku bocor bannya, jadi aku bawa motor kak Rey, malah pake ada razia segala lagi, ih nyebelin" aku mengomel dalam hati
"Mbak, kenapa diam, ini lagi kaca spion cuma 1 dipasang, mbak tahu peraturan berkendara apa tidak?"
"I..iya maaf pak, ini kaca nya yang sebelah pecah karena abis jatuh pak kemaren, makanya dibuang deh pak" Aku mencoba mencari alibi
"Sudah mbak, silahkan turun. ini kuncinya, mbak bisa ambil motor mbak di kantor polisi nanti," Polisi itu memaksa ku turun dari motor,
"E.. eh pak, jangan gitu dong pak, ini tuh bukan motor saya pak, jadi jangan asal bawa aja dong, nanti gimana cara ngejelasin ke kakak saya pak, pak jangan dong" Aku memohon tapi percuma saja, motorku sudah di pinggirkan ke kumpulan motor yang lainnya yang sudah diletakkan di trotoar, menanti untuk di masukkan mobil derek.
Aku terduduk di bangku panjang yang terdapat di pinggiran jalan kota. Aku termenung, entah rasanya bagaimana. antara kesal dan sedih. Kesal karena aku salah bawa motor, seandainya motorku yang kubawa tadi, tentu aku akan melenggang pulang dengan ceria. Dan sedih karena aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa pulang ke rumah. Ku telpon Ibu, Ayah dan bahkan kakakku tapi mereka sibuk, aku ingin menangis tapi malu, seorang Nina menangis hanya karena motor kakaknya, ah tidak-tidak!.

Aku mengamati terus tingkah pola para polisi yang sibuk menanyai dan mendorong atau meminggirkan kendaraan para pengendara yang bernasib sama sepertiku. Kulihat juga para pengendara yang tidak terima dengan perlakuan itu melakukan berbagai tindakan. sebagian dari mereka banyak yang marah-marah, tapi tidak terhiraukan, ada juga yang mencoba mencari celah agar bisa kabur, namun semuanya gagal. sebagian lagi hanya bisa duduk memegangi telepon dan mencoba mengutak-atik teleponnya lalu menempelkan di telinga, dengan wajah yang di penuhi gurat kecemasan. ada juga yang masa bodo dengan kejadian ini. pergi menggunakan angkutan umum. mungkin mereka orang kaya menurutku, yang tidak terlalu peduli pada situasi yang baru saja menimpa dirinya.

Aku sempat kepikiran untuk pulang naik angkot juga, tapi bagaimana dengan motor kakakku? uh pusing kepalaku. aku berjalan mengiringi trotoar, perutku terasa lapar, aku melihat ada restoran tapi mahal-mahal semuanya, aku berjalan lagi dan aku mundur beberapa langkah, nah itu ada kafe yang terkenal makanannya sangat enak dan harganya pas di kantong.
aku melangkah dan masuk, rasanya beban di pikiran sejenak menghilang, suasana di kafe itu sangat sejuk, bukan karena AC nya yang membuat sejuk, tapi karena di sekeliling dinding kafe itu di tempelkan potongan ayat Al-qur'an beserta terjemahannya juga. Aku duduk di kursi kafe sambil berdecak kagum dengan suasana kafe itu, aku memesan makanan dan minuman, aku memilih duduk di dekat jendela, agar bisa ku lihat suasana diluar, aku melihat di jendela itu mulai kabus seperti terkena percikan air, ternyata memang benar hujan turun membasahi bumi, beruntungnya aku yang sudah berada di dalam kafe, ku lihat dari jendela orang-orang ada yang agak kebasahan masuk kedalam kafe dan langsung duduk, mungkin kedinginan di tambah dinginnya AC di kafe. Mataku menatap pada sosok lelaki yang baru saja memarkirkan motornya dan berdiri di depan kafe, aku heran mengapa laki-laki itu tidak masuk saja ke dalam, apakah karena bajunya basah lalu dia segan untuk masuk, atau mungkin dia masih ingin mengeringkan bajunya lalu setelah itu masuk ke dalam. aku tidak tahu apa maksudnya, aku tidak lagi melihatnya karena pesananku sudah datang dan aku langsung menyeruput coklat panas untuk menghilangkan dahaga dan untuk menambah hangat tubuhku yang sedari tadi cukup kedinginan. Aku menatap laki-laki itu lagi, dia masih berada di situ, sendirian, sesekali dia melihat ke dalam kafe, sekilas ku ramal dia sedang kelaparan dan juga kedinginan, tapi mengapa tidak masuk? apakah dia tidak punya uang? ah, aku melahap makananku dengan rasa puas, rasa sedapnya tak terelakkan lagi, aku merasa tidak salah memilih kafe ini sebagai tempat menebus laparku.

Di tengah asiknya makan, aku mendengarkan suara mengaji dari masjid yang berada di seberang kafe, aku tersentak, baru tersadar lagi bahwa diluar sudah hampir gelap, itu artinya maghrib telah tiba, dan aku masih berada di jalan, belum tiba di rumah juga. aku menatap laki-laki itu lagi, dia kelihatan sudah berada di motornya lagi, beranjak pergi karena hujan sudah mulai reda, entah kenapa aku terus tertarik untuk  memperhatikannya, laki-laki itu mulai meninggalkan halaman parkir kafe dan bergerak melaju, tanpa kusangka ternyata laki-laki itu menyebrang ke masjid. aku bertanya-tanya lagi, kenapa dia tidak dari tadi saja sih ke masjid, atau dia salah belok ya?

Aku sudah menghabiskan makananku, makanan yang terbilang enak. jika aku menjadi jurinya akan ku nilai 10.
"Duh, gimana dong ini, aku mau pulang sama siapa? angkot mah udah gak ada kalo jam segini"
Aku meringis ketakutan, khawatir kala kulihat hari mulai gelap. Adzan berkumandang, aku memutuskan untuk sholat ke masjid, aku beranjak keluar setelah makananku selesai kubayar di kasir, aku keluar dari kafe dan mulai berjalan menuju masjid di seberang, beruntung kala itu kendaraan tidak terlalu ramai, makanya aku bisa dengan cepat menyebrang jalan dan sampai di depan masjid.
"Alhamdulillah, aku masih bisa sholat di tengah kebingunganku"
Aku mulai ke belakang, mencari tempat wudhu, selesai wudhu aku masuk lewat pintu samping yang dekat dari tempat wudhu tadi, di dalam sudah ada banyak perempuan, entah itu ibu-ibu ataupun anak-anak. mereka menyempatkan untuk sholat jama'ah di masjid. Aku mengambil mukena berwarna ungu, karena ungu warna kesukaanku, lalu mengikuti sholat berjama'ah. selesai sholat, aku berdo'a pada Allah, mohon di beri pertolongan dan kesabaran.
Aku keluar melalui pintu samping, dan beranjak ke depan. aku ingin berusaha mencari angkutan umum, mungkin saja ada, aku melihat ada sebuah angkot yang datang dari arah kanan, aku setengah berlari ingin memanggil angkot itu, namun di tengah lari karena terlalu fokus pada angkot hingga tidak melihat kanan-kiriku,
Brukk!
entah apa yang kutabrak, aku masih belum melihat dengan jelas karena aku kesakitan, padahal aku yang menabrak, tapi aku pula yang merasakan sakit
"Maaf, kamu gak apa-apa kan?" Terdengar suara laki-laki di depanku, yang sepertinya sedang berbicara padaku. Aku masih meringis kesakitan, kulihat kakiku memar, mungkin keseleo.
"YaAllah kaki kamu memar itu"
Suara itu kembali terdengar seolah memang sedang bicara padaku dan tahu jika kakiku sedang sakit. Aku mengalihkan pandanganku kearah sumber suara itu dan kulihat dari celana, jaket dan bajunya ini seperti laki-laki yang tadi kulihat sedang berdiri di kafe, kebetulan sekali bertemu dengannya. bahkan dengan cara yang sok dramatis sekali, seperti ada di drama-drama korea. Ah, aku menepis hal itu, kini aku mulai melihat wajah di depanku, betapa tidak terkejutnya aku, dia adalah polisi yang tadi menilang aku, aku dibuat gugup, ketakutan, dan tidak berani menatapnya lebih lama. ada rasa kesal juga karena dia telah mengambil motorku dengan paksa hingga aku sekarang jadi terlunta-lunta begini.
"Kamu mau saya anter ke rumah sakit?" Polisi itu bertanya lagi, apa dia memang tidak ingat jika dia tadi yang mengambil motorku
"Ah, tidak usah pak" aku memanggilnya dengan kata "pak", dan beranjak berdiri namun tak kuasa aku menahan rasa sakit, akhirnya terjatuh lagi.

"Tunggu, udah ayo sini aku bantu pijitin kaki kamu,"
Polisi itu mencoba menggendongku, aku langsung menepis
"Eh, tidak usah pak, saya baik-baik aja kok"
"Sudah ayo" polisi itu terus memaksaku
"I.. iya deh, tapi jangan digendong pak, malu" aku masih kesal saja dengan tingkah polisi ini
"Oh iya sini dibantuin berdiri," polisi itu menjulurkan tangannya, aku ragu-ragu namun bagaimana lagi aku memang sedang butuh bantuan, bahkan berdiri sendiri aku tidak bisa, aku menepis rasa gengsiku jauh-jauh dan perlahan tanganku meraih tangan polisi itu. meski dengan perasaan yang masih kesal sekali, aku tidak mau menatapnya. Tanganku menerima uluran itu, saat menyentuhnya aku kaget, langsung menatap wajah polisi itu, dingin sekali tangannya, aku baru sadar juga sedari tadi dia kehujanan bahkan bajunya sampai basah, ada rasa iba juga dalam hatiku
"Hey, ayo" aku tersadar dari lamunanku saat polisi itu mengibaskan tangannya di wajahku
"Eh iyaa pak" aku jadi malu karena takutnya polisi itu keGRan.
Aku pindah ke lantai depan masjid dengan bantuan di papah oleh polisi itu tadi, dia membantuku berjalan, dengan kakiku yang sakit ini menjadikan dia selalu berada bersamaku. Dan kini dia mulai memijat kakiku, saat dipijat aku merasakan sedikit kesakitan,
"Aaaww" aku berusaha untuk menahan sakit, namun ternyata tidak bisa, nyatanya masih saja keluar dari mulutku kata itu.
Polisi itu tidak menghiraukan ekspresi kesakitanku, dia terus memijat kakiku, kutatap wajahnya, "ganteng juga" bisikku dalam hati. Aku tersenyum saat memandangi wajah polisi itu, tapi ekspresiku berubah saat kulihat lagi wajahnya, terlihat pucat, terlihat sekali dari bibirnya yang samar-samar terlihat putih. Aku menjadi kasihan pada polisi ini, ku rasakan tangannya masih lihai dalam memijat kakiku, tapi dingin, entah mungkin karena kakiku yang hangat hingga rasanya tangan polisi ini dingin sekali, wajahku jadi sedih, aku merasa bersalah jadinya, jika saja aku tidak menabraknya, pasti dia sudah pulang ke rumahnya.

Lagi-lagi kutepis pikiran itu, entah mengapa rasa kesal itu masih ada, dan terus seakan meracuni otakku.
"Sudah, bagaimana rasanya?" polisi itu bertanya padaku
"eh.. oh.. sudah ya?" aku masih gugup lagi dan kembali bertanya pada polisi itu
"Iya, kamu melamun terus dari tadi"
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menggerak-gerakkan kakiku, sudah lumayan baik rasanya, tidak terlalu sakit lagi, kini aku mencoba berdiri dengan bantuan polisi itu, dan saat dilepas, aku sudah bisa berdiri sendiri.
Aku mulai berjalan, tapi pincang. musibah kenapa datang bertubi-tubi padaku. sudah motornya diambil, di tambah lagi kakiku jadi pincang. Duh rasanya ingin menangis saja.
"Pak, motor saya bagaimana?" aku mencoba bertanya pada polisi itu dan menoleh ke belakang.
"Oh, motor kamu ya, saya baru ingat ternyata kamu korban razia tadi ya, tenang saja, razia itu berlaku sebentar kok, satu hari setelahnya boleh di ambil lagi asalkan membawa kelengkapan motor seperti surat, spion, dll." ucapan polisi itu menenangkan perasaanku
"Oh Alhamdulillah kalo begitu pak, saya kira bakalan lama urusannya" Aku rasanya lega sekali
"Iya mbak, jadi ini adalah razia penertiban sekaligus pengingat pengendara jika peraturan itu dibuat untuk dipatuhi, agar menegaskan bahwa peraturan itu tidak main-main dibuatnya dan harus di jalankan" ucap polisi itu tersenyum seolah sedang menyindirku
"Oh iya pak" aku menundukkan wajahku karena malu tidak mematuhi peraturan lalu lintas

"Mbak ini tidak pulang?"
"Mau pulang, tapi gak tau gimana caranya pulang, kan motornya diambil" ucapku dengan nada kesal, lagi-lagi kesal itu mendatangiku
"Bagaimana jika saya antar mbak? sekaligus menebus kesalahan saya," polisi itu menawarkan
"Ah, bagaimana ya?"
"Kenapa tidak mau mbak? Saya ini polisi loh, jadi kalo berkendara sama saya aman pastinya" polisi itu mulai memaksa namun dengan cara yang halus
"Tapii...." aku masih ragu dan menggantungkan pembicaraanku
"Tapi apa? saya nawarin ini tidak berkali-kali loh mbak, selagi saya masih baik" polisi itu lagi, memaksaku
"Tapi di halaman rumah saya ada kucing galak" aku memecah keheningan dengan mencoba membuat kelucuan.
"Saya akan mengantar di pagar saja, tidak masuk ke halaman rumah kamu kok"
Aku tertawa mendengar jawaban polisi itu yang menurutku geli. bisa juga dia bercanda ternyata.

"Yasudah ayo," polisi itu mengajak lagi,
"Iya sebentar kenapa sih pak, kakiku lagi sakit juga" aku mengomel
"Ohiya ngomong-ngomong kita belum kenalan, nama saya Iqbal, kalo mbak?"
"Eh iya saya Nina. gausah panggil mbak dong pak, saya keliatan tua banget"
"Oh iya siap, sama juga jangan panggil pak dong Nin, lebih makin tua jadinya"
"Eh iya bal, sorry soalnya kan kamu polisi, jadi aku panggil pak deh" aku nyengir
"Yasudah deh, hari mulai gelap nih, mau pulang tidak?"
"Ya maulah"

Aku akhirnya diantar pulang oleh pak polisi yang tadi mengambil motorku, sudah tidak kesal lagi sih, dan aku bertanya
"Bal, tadi kamu kehujanan ya? kok gak masuk ke kafe? malah diem aja di depan?"
"Iyah, soalnya saya mau ke masjid ternyata masjidnya masih terkunci, yasudah saya belok ke kafe, berteduh sebentar, karena kafe itu berada di seberang masjid,"
"Oh, jadi begitu ya, aku kirain kamu gak ada uang buat masuk ke kafe, upss"
"Hahah ada-ada saja, ngomong-ngomong kenapa kamu bisa tau?"
"Tau dong, kan aku di dalam kafe lagi makan" aku tertawa kecil

Sudah sampai di rumahku, aku turun dari motornya Iqbal
"Sudah sampaii" aku girang karena sudah sampai rumah
"Eh, hati-hati Nin, kaki kamu belum sembuh tuh"
"Eh iya iya, btw bal.. jangan lupa minum obat ya, kamu pucat banget tuh wajahnya, nanti kamu sakit dan gak bisa tugas gimana?" aku memberikan perhatian, perkataan itu muncul dengan sendirinya
"Iya, makasih ya Nin, kamu juga tuh, jangan banyak gerak dulu, biar sembuh dulu, oke."
"Iya"
"Aku pulang ya, besok temui aku kalo di kantor polisi ya"
"Iya. Hati-hati ya bal, insyaAllah besok kesana"
"Daah" aku melambaikan tanganku pada Iqbal.

2 bulan kemudian...

Aku masih tidak menyangka jika saat razia 2 bulan yang lalu adalah proses kedekatanku dengan Iqbal, kami menjadi teman. jika ada masalah dengan lalu lintas, aku minta bantuan padanya.

Seperti biasa aku pulang dari kantor tempat kerjaku, saat itu pukul 5 sore, aku masih selalu di temani dengan motor matic kesayanganku, yang selalu setia menemaniku, aku jadi tidak pernah merasa sendirian, sore itu cuacanya cerah sekali, aku jadi seolah mendapat energi untuk melepaskan rasa penatku yang tadi seharian di kantor bekerja. untungnya tidak lembur, aku masuk kedalam area perumahanku, saat kulihat ada mobil terparkir di depan rumahku, aku bertanya-tanya mobil siapakah itu? aku memarkirkan motorku lalu mulai masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikuuum" aku mengucapkan salam
"Wa'alaikumussalam"
"Loh, kok rame-rame, ada apa ya?" kulihat sudah ada Iqbal dan yang lainnya aku tidak kenal, yang jelas lebih tua daripada Iqbal, tapi apa maksudnya ini?
"Nina, silahkan duduk dulu" Ayah mempersilahkanku duduk
"Ada apa sih yah?" Aku bertanya lagi, dibuat penasaran.
"Nak Iqbal, silahkan berbicara" Ayah malah mengalihkan pembicaraanku
Kini Aku memandangi Iqbal, kulihat dia tak lagi memakai seragam gagahnya, tapi memakai baju koko berwarna putih, menambah aura gagah.

"Begini pak, Maksud kedatangan saya dan rombongan kesini adalah untuk melamar anak bapak, Dirya Nina untuk dijadikan Istri saya Iqbal Haris."

Deg.
Jantungku bagai di tusuk ribuan bunga jarum-jaruman, tidak sakit melainkan bahagia yang luar biasa. Hatiku serasa mekar seolah menggambarkan kebahagiaanku. Aku dilamar oleh orang yang selama ini kukagumi diam-diam.
Dan aku juga akan menjadi Istrinya Pak Polisi yang merazia aku 1 bulan yang lalu.

Oktari Prastika

Riau, 16 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis