Antara Hujan, Razia, Aku dan Polisi
![]() |
Pixabay.com |
Kulihat lagi di depan, jalanan semakin
sunyi dan aku tak pernah peduli pada situasi ini, aku merasa senang karena aku
tidak perlu terjebak macet, saat ada pertigaan aku belok kiri dan betapa
kagetnya aku rupanya di depan ada lampu merah, bukan kaget karena lampu merahnya
melainkan ada banyak polisi berkeliaran sedang merazia para pengendara lain di
depan. Aku menghentikan motorku, saat kulihat sudah ada seorang polisi melambaikan tangannya di depanku,
bukan karena untuk sok dekat padaku, tapi itulah panggilan tanda untuk aku
berhenti dan akan di interogasi. aku memasang wajah memelas seolah tidak tahu
apa-apa untuk mendapatkan iba dari pak polisi. polisi itu mendekatiku
"Permisi, mbak bisa tunjukkan
surat-suratnya?"
Mendengar pertanyaan itu jantungku langsung
berdegup kencang, aku mencoba menjawab
"ee.. a.. ada kok pak, sebentar ya
pak"
"Baik"
"ini pak" aku menjulurkan
beberapa surat, aku tak berani menatap wajah polisi itu.
"Mbak ini bagaimana sih, ini bukan
surat dari kendaraan ini mbak, yang benar saja"
Aku tergugup, "sial hari ini karena
motorku bocor bannya, jadi aku bawa motor kak Rey, malah pake ada razia segala
lagi, ih nyebelin" aku mengomel dalam hati
"Mbak, kenapa diam, ini lagi kaca
spion cuma 1 dipasang, mbak tahu peraturan berkendara apa tidak?"
"I..iya maaf pak, ini kaca nya yang
sebelah pecah karena abis jatuh pak kemaren, makanya dibuang deh pak" Aku
mencoba mencari alibi
"Sudah mbak, silahkan turun. ini
kuncinya, mbak bisa ambil motor mbak di kantor polisi nanti," Polisi itu
memaksa ku turun dari motor,
"E.. eh pak, jangan gitu dong pak, ini
tuh bukan motor saya pak, jadi jangan asal bawa aja dong, nanti gimana cara
ngejelasin ke kakak saya pak, pak jangan dong" Aku memohon tapi percuma
saja, motorku sudah di pinggirkan ke kumpulan motor yang lainnya yang sudah
diletakkan di trotoar, menanti untuk di masukkan mobil derek.
Aku terduduk di bangku panjang yang
terdapat di pinggiran jalan kota. Aku termenung, entah rasanya bagaimana.
antara kesal dan sedih. Kesal karena aku salah bawa motor, seandainya motorku
yang kubawa tadi, tentu aku akan melenggang pulang dengan ceria. Dan sedih
karena aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa pulang ke rumah. Ku telpon Ibu,
Ayah dan bahkan kakakku tapi mereka sibuk, aku ingin menangis tapi malu,
seorang Nina menangis hanya karena motor kakaknya, ah tidak-tidak!.
Aku mengamati terus tingkah pola para
polisi yang sibuk menanyai dan mendorong atau meminggirkan kendaraan para
pengendara yang bernasib sama sepertiku. Kulihat juga para pengendara yang
tidak terima dengan perlakuan itu melakukan berbagai tindakan. sebagian dari
mereka banyak yang marah-marah, tapi tidak terhiraukan, ada juga yang mencoba
mencari celah agar bisa kabur, namun semuanya gagal. sebagian lagi hanya bisa
duduk memegangi telepon dan mencoba mengutak-atik teleponnya lalu menempelkan
di telinga, dengan wajah yang di penuhi gurat kecemasan. ada juga yang masa
bodo dengan kejadian ini. pergi menggunakan angkutan umum. mungkin mereka orang
kaya menurutku, yang tidak terlalu peduli pada situasi yang baru saja menimpa
dirinya.
Aku sempat kepikiran untuk pulang naik
angkot juga, tapi bagaimana dengan motor kakakku? uh pusing kepalaku. aku
berjalan mengiringi trotoar, perutku terasa lapar, aku melihat ada restoran
tapi mahal-mahal semuanya, aku berjalan lagi dan aku mundur beberapa langkah,
nah itu ada kafe yang terkenal makanannya sangat enak dan harganya pas di
kantong.
aku melangkah dan masuk, rasanya beban di
pikiran sejenak menghilang, suasana di kafe itu sangat sejuk, bukan karena AC
nya yang membuat sejuk, tapi karena di sekeliling dinding kafe itu di tempelkan
potongan ayat Al-qur'an beserta terjemahannya juga. Aku duduk di kursi kafe
sambil berdecak kagum dengan suasana kafe itu, aku memesan makanan dan minuman,
aku memilih duduk di dekat jendela, agar bisa ku lihat suasana diluar, aku
melihat di jendela itu mulai kabus seperti terkena percikan air, ternyata
memang benar hujan turun membasahi bumi, beruntungnya aku yang sudah berada di
dalam kafe, ku lihat dari jendela orang-orang ada yang agak kebasahan masuk
kedalam kafe dan langsung duduk, mungkin kedinginan di tambah dinginnya AC di
kafe. Mataku menatap pada sosok lelaki yang baru saja memarkirkan motornya dan
berdiri di depan kafe, aku heran mengapa laki-laki itu tidak masuk saja ke
dalam, apakah karena bajunya basah lalu dia segan untuk masuk, atau mungkin dia
masih ingin mengeringkan bajunya lalu setelah itu masuk ke dalam. aku tidak
tahu apa maksudnya, aku tidak lagi melihatnya karena pesananku sudah datang dan
aku langsung menyeruput coklat panas untuk menghilangkan dahaga dan untuk
menambah hangat tubuhku yang sedari tadi cukup kedinginan. Aku menatap
laki-laki itu lagi, dia masih berada di situ, sendirian, sesekali dia melihat
ke dalam kafe, sekilas ku ramal dia sedang kelaparan dan juga kedinginan, tapi
mengapa tidak masuk? apakah dia tidak punya uang? ah, aku melahap makananku
dengan rasa puas, rasa sedapnya tak terelakkan lagi, aku merasa tidak salah
memilih kafe ini sebagai tempat menebus laparku.
Di tengah asiknya makan, aku mendengarkan suara
mengaji dari masjid yang berada di seberang kafe, aku tersentak, baru tersadar
lagi bahwa diluar sudah hampir gelap, itu artinya maghrib telah tiba, dan aku
masih berada di jalan, belum tiba di rumah juga. aku menatap laki-laki itu
lagi, dia kelihatan sudah berada di motornya lagi, beranjak pergi karena hujan
sudah mulai reda, entah kenapa aku terus tertarik untuk memperhatikannya, laki-laki itu mulai
meninggalkan halaman parkir kafe dan bergerak melaju, tanpa kusangka ternyata
laki-laki itu menyebrang ke masjid. aku bertanya-tanya lagi, kenapa dia tidak
dari tadi saja sih ke masjid, atau dia salah belok ya?
Aku sudah menghabiskan makananku, makanan
yang terbilang enak. jika aku menjadi jurinya akan ku nilai 10.
"Duh, gimana dong ini, aku mau pulang
sama siapa? angkot mah udah gak ada kalo jam segini"
Aku meringis ketakutan, khawatir kala
kulihat hari mulai gelap. Adzan berkumandang, aku memutuskan untuk sholat ke
masjid, aku beranjak keluar setelah makananku selesai kubayar di kasir, aku
keluar dari kafe dan mulai berjalan menuju masjid di seberang, beruntung kala
itu kendaraan tidak terlalu ramai, makanya aku bisa dengan cepat menyebrang
jalan dan sampai di depan masjid.
"Alhamdulillah, aku masih bisa sholat
di tengah kebingunganku"
Aku mulai ke belakang, mencari tempat
wudhu, selesai wudhu aku masuk lewat pintu samping yang dekat dari tempat wudhu
tadi, di dalam sudah ada banyak perempuan, entah itu ibu-ibu ataupun anak-anak.
mereka menyempatkan untuk sholat jama'ah di masjid. Aku mengambil mukena berwarna
ungu, karena ungu warna kesukaanku, lalu mengikuti sholat berjama'ah. selesai
sholat, aku berdo'a pada Allah, mohon di beri pertolongan dan kesabaran.
Aku keluar melalui pintu samping, dan
beranjak ke depan. aku ingin berusaha mencari angkutan umum, mungkin saja ada,
aku melihat ada sebuah angkot yang datang dari arah kanan, aku setengah berlari
ingin memanggil angkot itu, namun di tengah lari karena terlalu fokus pada
angkot hingga tidak melihat kanan-kiriku,
Brukk!
entah apa yang kutabrak, aku masih belum
melihat dengan jelas karena aku kesakitan, padahal aku yang menabrak, tapi aku
pula yang merasakan sakit
"Maaf, kamu gak apa-apa kan?"
Terdengar suara laki-laki di depanku, yang sepertinya sedang berbicara padaku.
Aku masih meringis kesakitan, kulihat kakiku memar, mungkin keseleo.
"YaAllah kaki kamu memar itu"
Suara itu kembali terdengar seolah memang
sedang bicara padaku dan tahu jika kakiku sedang sakit. Aku mengalihkan
pandanganku kearah sumber suara itu dan kulihat dari celana, jaket dan bajunya
ini seperti laki-laki yang tadi kulihat sedang berdiri di kafe, kebetulan
sekali bertemu dengannya. bahkan dengan cara yang sok dramatis sekali, seperti
ada di drama-drama korea. Ah, aku menepis hal itu, kini aku mulai melihat wajah
di depanku, betapa tidak terkejutnya aku, dia adalah polisi yang tadi menilang
aku, aku dibuat gugup, ketakutan, dan tidak berani menatapnya lebih lama. ada
rasa kesal juga karena dia telah mengambil motorku dengan paksa hingga aku
sekarang jadi terlunta-lunta begini.
"Kamu mau saya anter ke rumah
sakit?" Polisi itu bertanya lagi, apa dia memang tidak ingat jika dia tadi
yang mengambil motorku
"Ah, tidak usah pak" aku
memanggilnya dengan kata "pak", dan beranjak berdiri namun tak kuasa
aku menahan rasa sakit, akhirnya terjatuh lagi.
"Tunggu, udah ayo sini aku bantu
pijitin kaki kamu,"
Polisi itu mencoba menggendongku, aku
langsung menepis
"Eh, tidak usah pak, saya baik-baik
aja kok"
"Sudah ayo" polisi itu terus
memaksaku
"I.. iya deh, tapi jangan digendong
pak, malu" aku masih kesal saja dengan tingkah polisi ini
"Oh iya sini dibantuin berdiri,"
polisi itu menjulurkan tangannya, aku ragu-ragu namun bagaimana lagi aku memang
sedang butuh bantuan, bahkan berdiri sendiri aku tidak bisa, aku menepis rasa
gengsiku jauh-jauh dan perlahan tanganku meraih tangan polisi itu. meski dengan
perasaan yang masih kesal sekali, aku tidak mau menatapnya. Tanganku menerima
uluran itu, saat menyentuhnya aku kaget, langsung menatap wajah polisi itu,
dingin sekali tangannya, aku baru sadar juga sedari tadi dia kehujanan bahkan
bajunya sampai basah, ada rasa iba juga dalam hatiku
"Hey, ayo" aku tersadar dari
lamunanku saat polisi itu mengibaskan tangannya di wajahku
"Eh iyaa pak" aku jadi malu
karena takutnya polisi itu keGRan.
Aku pindah ke lantai depan masjid dengan
bantuan di papah oleh polisi itu tadi, dia membantuku berjalan, dengan kakiku
yang sakit ini menjadikan dia selalu berada bersamaku. Dan kini dia mulai
memijat kakiku, saat dipijat aku merasakan sedikit kesakitan,
"Aaaww" aku berusaha untuk
menahan sakit, namun ternyata tidak bisa, nyatanya masih saja keluar dari
mulutku kata itu.
Polisi itu tidak menghiraukan ekspresi
kesakitanku, dia terus memijat kakiku, kutatap wajahnya, "ganteng
juga" bisikku dalam hati. Aku tersenyum saat memandangi wajah polisi itu,
tapi ekspresiku berubah saat kulihat lagi wajahnya, terlihat pucat, terlihat
sekali dari bibirnya yang samar-samar terlihat putih. Aku menjadi kasihan pada
polisi ini, ku rasakan tangannya masih lihai dalam memijat kakiku, tapi dingin,
entah mungkin karena kakiku yang hangat hingga rasanya tangan polisi ini dingin
sekali, wajahku jadi sedih, aku merasa bersalah jadinya, jika saja aku tidak
menabraknya, pasti dia sudah pulang ke rumahnya.
Lagi-lagi kutepis pikiran itu, entah mengapa
rasa kesal itu masih ada, dan terus seakan meracuni otakku.
"Sudah, bagaimana rasanya?"
polisi itu bertanya padaku
"eh.. oh.. sudah ya?" aku masih
gugup lagi dan kembali bertanya pada polisi itu
"Iya, kamu melamun terus dari
tadi"
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan
menggerak-gerakkan kakiku, sudah lumayan baik rasanya, tidak terlalu sakit
lagi, kini aku mencoba berdiri dengan bantuan polisi itu, dan saat dilepas, aku
sudah bisa berdiri sendiri.
Aku mulai berjalan, tapi pincang. musibah
kenapa datang bertubi-tubi padaku. sudah motornya diambil, di tambah lagi
kakiku jadi pincang. Duh rasanya ingin menangis saja.
"Pak, motor saya bagaimana?" aku
mencoba bertanya pada polisi itu dan menoleh ke belakang.
"Oh, motor kamu ya, saya baru ingat
ternyata kamu korban razia tadi ya, tenang saja, razia itu berlaku sebentar
kok, satu hari setelahnya boleh di ambil lagi asalkan membawa kelengkapan motor
seperti surat, spion, dll." ucapan polisi itu menenangkan perasaanku
"Oh Alhamdulillah kalo begitu pak, saya
kira bakalan lama urusannya" Aku rasanya lega sekali
"Iya mbak, jadi ini adalah razia
penertiban sekaligus pengingat pengendara jika peraturan itu dibuat untuk
dipatuhi, agar menegaskan bahwa peraturan itu tidak main-main dibuatnya dan
harus di jalankan" ucap polisi itu tersenyum seolah sedang menyindirku
"Oh iya pak" aku menundukkan
wajahku karena malu tidak mematuhi peraturan lalu lintas
"Mbak ini tidak pulang?"
"Mau pulang, tapi gak tau gimana
caranya pulang, kan motornya diambil" ucapku dengan nada kesal, lagi-lagi
kesal itu mendatangiku
"Bagaimana jika saya antar mbak?
sekaligus menebus kesalahan saya," polisi itu menawarkan
"Ah, bagaimana ya?"
"Kenapa tidak mau mbak? Saya ini
polisi loh, jadi kalo berkendara sama saya aman pastinya" polisi itu mulai
memaksa namun dengan cara yang halus
"Tapii...." aku masih ragu dan
menggantungkan pembicaraanku
"Tapi apa? saya nawarin ini tidak
berkali-kali loh mbak, selagi saya masih baik" polisi itu lagi, memaksaku
"Tapi di halaman rumah saya ada kucing
galak" aku memecah keheningan dengan mencoba membuat kelucuan.
"Saya akan mengantar di pagar saja,
tidak masuk ke halaman rumah kamu kok"
Aku tertawa mendengar jawaban polisi itu
yang menurutku geli. bisa juga dia bercanda ternyata.
"Yasudah ayo," polisi itu mengajak
lagi,
"Iya sebentar kenapa sih pak, kakiku
lagi sakit juga" aku mengomel
"Ohiya ngomong-ngomong kita belum
kenalan, nama saya Iqbal, kalo mbak?"
"Eh iya saya Nina. gausah panggil mbak
dong pak, saya keliatan tua banget"
"Oh iya siap, sama juga jangan panggil
pak dong Nin, lebih makin tua jadinya"
"Eh iya bal, sorry soalnya kan kamu
polisi, jadi aku panggil pak deh" aku nyengir
"Yasudah deh, hari mulai gelap nih,
mau pulang tidak?"
"Ya maulah"
Aku akhirnya diantar pulang oleh pak polisi
yang tadi mengambil motorku, sudah tidak kesal lagi sih, dan aku bertanya
"Bal, tadi kamu kehujanan ya? kok gak
masuk ke kafe? malah diem aja di depan?"
"Iyah, soalnya saya mau ke masjid
ternyata masjidnya masih terkunci, yasudah saya belok ke kafe, berteduh sebentar,
karena kafe itu berada di seberang masjid,"
"Oh, jadi begitu ya, aku kirain kamu
gak ada uang buat masuk ke kafe, upss"
"Hahah ada-ada saja, ngomong-ngomong
kenapa kamu bisa tau?"
"Tau dong, kan aku di dalam kafe lagi
makan" aku tertawa kecil
Sudah sampai di rumahku, aku turun dari
motornya Iqbal
"Sudah sampaii" aku girang karena
sudah sampai rumah
"Eh, hati-hati Nin, kaki kamu belum
sembuh tuh"
"Eh iya iya, btw bal.. jangan lupa
minum obat ya, kamu pucat banget tuh wajahnya, nanti kamu sakit dan gak bisa
tugas gimana?" aku memberikan perhatian, perkataan itu muncul dengan
sendirinya
"Iya, makasih ya Nin, kamu juga tuh,
jangan banyak gerak dulu, biar sembuh dulu, oke."
"Iya"
"Aku pulang ya, besok temui aku kalo
di kantor polisi ya"
"Iya. Hati-hati ya bal, insyaAllah
besok kesana"
"Daah" aku melambaikan tanganku
pada Iqbal.
2 bulan kemudian...
Aku masih tidak menyangka jika saat razia 2
bulan yang lalu adalah proses kedekatanku dengan Iqbal, kami menjadi teman.
jika ada masalah dengan lalu lintas, aku minta bantuan padanya.
Seperti biasa aku pulang dari kantor tempat
kerjaku, saat itu pukul 5 sore, aku masih selalu di temani dengan motor matic
kesayanganku, yang selalu setia menemaniku, aku jadi tidak pernah merasa
sendirian, sore itu cuacanya cerah sekali, aku jadi seolah mendapat energi
untuk melepaskan rasa penatku yang tadi seharian di kantor bekerja. untungnya
tidak lembur, aku masuk kedalam area perumahanku, saat kulihat ada mobil
terparkir di depan rumahku, aku bertanya-tanya mobil siapakah itu? aku
memarkirkan motorku lalu mulai masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikuuum" aku
mengucapkan salam
"Wa'alaikumussalam"
"Loh, kok rame-rame, ada apa ya?"
kulihat sudah ada Iqbal dan yang lainnya aku tidak kenal, yang jelas lebih tua
daripada Iqbal, tapi apa maksudnya ini?
"Nina, silahkan duduk dulu" Ayah
mempersilahkanku duduk
"Ada apa sih yah?" Aku bertanya
lagi, dibuat penasaran.
"Nak Iqbal, silahkan berbicara"
Ayah malah mengalihkan pembicaraanku
Kini Aku memandangi Iqbal, kulihat dia tak
lagi memakai seragam gagahnya, tapi memakai baju koko berwarna putih, menambah
aura gagah.
"Begini pak, Maksud kedatangan saya
dan rombongan kesini adalah untuk melamar anak bapak, Dirya Nina untuk
dijadikan Istri saya Iqbal Haris."
Deg.
Jantungku bagai di tusuk ribuan bunga
jarum-jaruman, tidak sakit melainkan bahagia yang luar biasa. Hatiku serasa
mekar seolah menggambarkan kebahagiaanku. Aku dilamar oleh orang yang selama
ini kukagumi diam-diam.
Dan aku juga akan menjadi Istrinya Pak
Polisi yang merazia aku 1 bulan yang lalu.
Oktari Prastika
Riau, 16 November 2018
Komentar
Posting Komentar