Postingan

Senyum Getir

Gambar
  Sirrus bertebaran di langit. Mengajak keluarga kumulus bercanda. Mentari mengedipkan mata. Bunga-bunga di halaman rumah warga mengangguk tergoda. Pesona alam riang, seriang burung gereja yang berkicau di kabel-kabel listrik jalanan. Kokok ayam lelap, mereka sudah berkemas mencari makan di emperan selokan, atau tumpukan sampah. Kucing tetangga mengusir cintanya tadi malam. Ia melenggok lunglai di gang-gang sempit, hendak loncat ke dapur mencari kepala ikan. Lidi beristirahat. Tuannya sibuk mengantre di warung bubur Bu Siti. pixabay.com Anak-anak belia yang senyumnya masih tanpa dosa digendong. Matanya sayup-sayup, malas menyibak dunia. Mereka juga belum terganggu dengan kupu-kupu dan kumbang yang hinggap di bunga mawar. Malas mendengarkan bisingnya knalpot hilir-mudik. Tak tertarik dengan langkah-langkah riang anak-anak pergi ke sekolah, bergerombol, tertawa, saling menjawil, menarik tas, melempar kertas, lantas kejar-kejaran hingga depan pintu gerbang. Renta yang tadi pagi terkan

Air di dalam Kertas

Gambar
  Jika aku berkata...               Senyum mereka masih riang, walau kabut di langit menghadang. Wajah kaku menerobos gigil yang menyelimuti perjalanan. Dingin menusuk sampai pori kulit yang terdalam. Udara mendadak menjadi jarum yang mematikan. Resliting dinaikkan. Bibir langsung menghias paras yang biru. Langkah merangkak, harus segera tiba, sampai di persinggahan istana tercinta. Duduk bersila di hadapan kekasih hati sembari menenggak teh hangat, menatap aktivitas senja yang akan lelap. S.E.B.A.G.I.A.N. Dan gerimis memutar gerak jemari insan. Mantel dibalutkan ke tubuh. Ransel di punggung tak dibiarkan menggigil. Senyum yang semula mengembang, menjadi tumbang. Langit menggeleng iba, ia mulai menangis, gerimis menjadi nostalgia manis. pixabay.com               Terjalnya jalan dilalui. Bebatuan berantakan di pusar membuat ban sepeda motor menggeliat tak suka. Para pembonceng pun diwajibkan berpegangan erat. Entah pada ekor jog, atau pinggang tak ramping sopirnya. Sementara hati ko

Alasan Pencipta

Gambar
  Pagi. Gigil adalah sahabat yang malas meninggalkanku di pembaringan. Ayam mulai berkokok . Pukul tiga dini hari, Fajar merayap perlahan. Bintang masih menatap bumi riang. Gumpalan di langit itu menerangkan alam. Sinarnya jatuh berebutan dengan cahaya rembulan yang sok ingin menang sendiri. Langit, biru memayungi temaram. Kabut lari, takut dengan sepoi angin yang hendak mengusir kemuramannya. Dedaunan bambu di perkampungan menari gembira, okestra yang bersiul terdengar merdu. Embun masih nyenyak di ujung dedaunan. Matanya jernih menangkap hari yang masih samar-samar. pixabay.com               Aku membuka mata. Kuintip dunia. Sudut-sudut ruangan temaram. Selimut kusibak. Mengintip celah alam melalui jendela. Selarik cahaya rembulan menembus ruangan, hendak mengajakku bermain dan bergurau dengan fajar. Aku tertarik, melangkahkan kaki. Membuka pintu. Kusambut kesegaran alam. Paru-paru bersorak riang. Kantuk kalah perang. Bibirku tersungging menang. Kuambil air wudu, mengaduh di had

Bocah Autis

Gambar
  T arik dagu runcing dari wajah lonjong miliknya. Senyum yang tetap kecut, meski air liur sudah bersusah payah memaniskannya. Suaranya nyaring, bertekad menidurkan alam, namun justru menghancurkan ketenangan. Ia yang merangkak dari beranda rumah, menuju jalanan kampung, berteriak, atau melonjat-lonjat kegirangan. Sesekali, menatap kerumunan Ibu-ibu yang nongkrong di depan rumah tetangga. Memperbincangkan jantung kawan yang tak berdosa. Terkadang... Atau mengharumkan nama-nama indah para pesolek yang berdiri di atas istana hiburan. Mewartakan berita yang tak layak untuk diperdengarkan kaum-kaum awam. Jika bosan, seputar kenikmatan di dalam kamar akan menjadi perdebatan yang berbisik-bisik. Tak pantas remaja tanggung mengupingnya. Aku... jangan ditanyakan lagi. Mungkin takdir sedang mabuk, mengapa memaksa otakku untuk menyimpan memori tentang percakapan dewasa. pixabay.com        Ia sukar berjalan. Kalimat yang dirangkainya pun seperti umpatan lebah marah. Mendengung-dengung membuat k

Surat

Gambar
  Ini bukan tentang maut. Ini tentang seutas senyum yang akan diabadikan oleh sepanjang hayat. Bahkan pemiliknya sanggup bertemu lagi di tahta surga. Begitu kata pemuka agama di kampung.               Berita itu hanyut dalam arus yang lembut. Mengetuk pintu ringkihku. Tetangga yang kuanggap Tukang Pos mengulurkan surat indah berwarna merah jambu. Menyadari hal itu, j­­­­­­­­­­­antungku bak disambar petir. Aku tersenyum, namun masa depanku tergambar getir. Berdoa, semoga aku sedang berhalusinasi melihat hantu pembawa sebuah surat yang tak... baik, sebenarnya tak pantas, jika aku tidak mengharapkan surat tersebut. Sedikit ragu aku mengungkapkannya.   Namun, jujur, selembar kertas itu akan membuat leherku serasa tercekik. Malamku menggigil sendirian di pembaringan. Tentu kelanjutan kisah aku akan melamun tanpa kawan di toko biru .   Mengenaskan! pixabay.com Jemariku bergetar hebat. Tubuhku limbung. Aku terduduk layu di kursi tamu. Hening. Siang baru saja ditelan mendung. Angin berembu